Hari Kedua di Singapura
Menikmati Pagi di Singapura
Rabu pagi (1/6/2016), aku terbangun sekitar pukul 04.00 waktu setempat,
padahal semalam baru bisa tidur pukul 01.00. Waktu salat subuh masih satu jam
setengah. Biasa di negeri sendiri kalau subuh sekitar pukul 04.30 WIB, maka
ketika menginap di Singapura jadwalnya berbeda, yakni beda satu jam (pukul
05.30). Karena itu, aku mencoba tidur kembali. Tapi, ponsel aku bergetar karena
ada pesan masuk di grup Whatsapp. Sudah
pada bangun belum. Yuk, tahajudan ke masjid (dari Rahmat Heldy). Kemudian
dibalas Farid, yuk qiamulail. Tahajud.
Mumpung belum subuh. Aku hanya melotot sejenak dan tidur kembali hingga
pukul setengah enam terbangun untuk salat subuh.
Hal paling menarik dalam setiap perjalanan adalah
ketika menikmati pagi di tempat yang baru kita kunjungi. Aku bergegas mengganti
baju keluar hostel menikmati pagi.
Aku ajak Farid yang juga sudah siap menjelajahi Kampung Glam atau Bugis. Aku
susuri jalan-jalan Kampung Glam bersama Farid, eh tapi ternyata sudah ada Aeny,
Diofany, Ahmad Wayang, dan Via di sana. Aku nikmati kesunyian Kampung Glam.
Apalagi setiap bangunan berupa gerai kuliner di tembok-temboknya terlukis
gambar grafiti menarik. Aku abadikan dalam kamera ponsel.
Setelah puas menikmati pagi di Kampung Glam, aku
dan teman-teman bergegas balik ke hostel
untuk mandi. Sekitar pukul 08.00, aku menuju Restaurant Victoria bersama Giani,
Diofany, dan Eka Nurul. Memesan menu sarapan pagi, tapi bukan nasi. Padahal
kami ingin makan sarapan nasi namun yang ada hanya martabak telur. Karena perut
lapar, maka dipesanlah menu sarapan tersebut.
“Mom, I want to order rice,” kata Giani.
“Oh, no rice. There is martubruk,” kata ibu
pelayan.
Kami berempat meletot heran. Dalam hati, ya tidak ada nasi. Padahal pengen nasi uduk
atau nasi goreng. hehehe
“Wah, nggak ada nasi ya. Bagaimana?” tanya aku
pada teman-teman.
“Ya sudahlah. Nggak apa-apa,” kata Dio diikuti
Eka.
Kami pesan martabak telur, dua teh hangat, satu
botol air mineral, dan aku pesan es teh tarik. Kami berempat makan dengan lahap
sarapan itu. seperti orang yang belum makan berhari-hari. Setelah makanan
habis, kami membayar dengan total 15 dolar Singapura. Murah untuk ukuran di Singapura,
tapi mahal bagi kita orang Indonesia. Karena 1 dolar = Rp10.000. Jika 15 dolar
= Rp150.000. Mahal banget, tapi tidak apa-apa. Mumpung dibiayai negara untuk
menikmati menjadi warga Singapura sementara.
Rabu pagi itu rencananya akan ke Singapura Library,
tapi sebelumnya tiap kelompok ada briefing
dengan Mas Gol A Gong di Malaya Heritage membicarakan persiapan menulis catatan
perjalanan yang bakal jadi buku dimulai dengan konsep judul. Setelah per kelompok
selesai briefing dengan Mas Gong,
maka dipersilakan menuju Perpustakaan Singapura. Kami kelompok II langsung
berangkat menuju ke sana naik Bus Transingapura. Kartu ajaib Singapura harus
dibawa karena itu memudahkan kami mengakses transportasi di Singapura, terutama
moda transportasi MRT dan bus.
Ngobrol Bareng Muhzaini
Perjalanan dari Kampung Bugis menuju Perpustakaan Singapura tidak
berlangsung lama sekitar lima belas menit. Kami kelompok II memasuki gedung
dengan tulisan National Library Building. Aku terkagum-kagum melihat
Perpustakaan Singapura berlantai delapan tersebut. Di lobi depan gedung itu sudah
memikat pengunjung untuk masuk. Aku dan teman-teman merasa bahagia berada di
gedung penuh buku itu.
“Nanti di Perpustakaan Singapura jangan berisik
ya. Boleh kok foto-foto, tapi jangan beramai-ramai,” kata Mas Gol A Gong
sebelum kami peserta #vokasimenulis berangkat ke Singapura dan diulang lagi
saat di Malaya Heritage.
Namun, tetap ada teman-teman peserta
#vokasimenulis yang berisik sehingga harus diingatkan. Aku berpisah dari
kelompok II menyusuri lantai tiap lantai serta ruangan di sana bersama Yehan.
Di lantai berikutnya, aku terpisah sendiri sebelum akhirnya bertemu Hilman Sutedja.
Aku dan Hilman mengunjungi ruang perpustakaan dewasa. Tampak beberapa
pengunjung khusyuk membaca buku dan berakses internet.
Kemudian aku dan Hilman naik terus hingga ke
lantai paling atas masih ditemukan ruang perpustakaan dewasa, tapi kami sempat
berbincang dengan petugas keamanan perpustakaan di sana.
“Mr, maybe came in this room?”
“Oh, oke. Please...”
Setelah diperiksa kami langsung masuk ruang
perpustakaan melihat-lihat koleksi buku yang tertata rapi. Tidak lama kami pun
keluar lagi. Kemudian kami bertemu kembali dengan petugas itu. Hilman
menanyakan identitas petugas jaga tersebut.
“Mr, can you speak english or melayu?”
“Oh, dari Indonesia ya,” kata petugas itu dengan
aksen melayunya.
“Iya, Pakci,” ujar Hilman.
“Oke, periksa dulu ya.”
Aku dan Hilman diperiksa lagi.
“Nama Pakci siapa?”
“Oh, name saye Muhzaini. Kalian buat ape ke
Singapore?”
“Saya Hilman, dari Banteng juga mahasiswa Unpad,
Bandung.”
“Saya Deden atau Muhzen.”
Aku dan Hilman saling memperkenal diri kepada Pak
Muhzaini.
“Kalian sedang ape di sini?”
“Kami sedang studi banding atau liburan,” kata
Hilman.
“Iya, Pak. Kami sedang liburan,” ujarku.
Kemudian Pak Muhzaini mengerutkan kening dengan
tatapan mata meneliti.
“Buat ape liburan ke Singapore. Di sini baiknye
belajar dan bekerja. Orang-orang sini tak ada yang malas. Tidak di negeri
kalian. Dulu awak pernah ke Indonesia bersua teman di sana. Tapi, aduh...”
Aku dan Hilman hanya nyengir sambil bertanya.
“Ada apa Pakci?”
“Indonesia itu kaya. Sumber daya alam banyak. Tapi
sayang, orangnya malas. Banyak korupsi. Di sini itu jalur transportasi teratur,
tapi di Jakarta. Aduh, itu macam balapan. Banyak pelanggaran.”
Aku dan Hilman tertawa sambil mengangguk-ngangguk
menyetujui apa yang dikatakan Pak Muhzaini.
“Maka itu, kami datang kesini, Pakci. Mau
belajar,” kata Hilman.
“Iya, Pakci. Kami harus bagaimana supaya seperti
Singapore,” tambahku.
“Singapore itu kecil. Tak ada kekayaan alamnya,
tapi orang-orang di sini disiplin dan bekerja keras. Pemerintah memberi aturan
tegas dan menyediakan pekerjaan,” ujar Pak Muhzaini.
“Iya, itu Pakci. Kenapa orang jompo di sini masih
tetap kerja. Beda dengan di negeri kami, kebanyakan anak muda kerja begitu.”
“Oh, di sini memang harus kerja. Bagian itu
diserahkan ke orang jompo. Tapi anak muda punya pekerjaan lebih tinggi dari
itu. Semacam berniaga atau kerja kantor. Kalian harus banyak belajar dan
bekerja supaya seperti Singapore. Itu saja,” kata Pak Muhzaini mengakhiri
obrolan kami.
Selain itu, di Singapura ada larangan merokok di
area publik. Karena itu, setiap mau merokok atau perokok di sana tidak bebas
seperti di Tanag Air. Di Singapura bagi perokok itu tempatnya dihinakan atau
nista, yakni harus merokok di depan tempat sampat/tong sampah. Tidak bisa
merokok di tempat-tempat umum. Karena bisa kena denda 2000 dolar setara dengan
Rp20.000.000.
Aku dan
Hilman pun berpamitan dan menuju lantai paling bawah, yakni ke perpustakaan
umum dan anak. Di perpustakaan ini kami bertemu teman-teman dari kelompok
lainnya. Saling mengobrol dan bercanda, tapi tidak gaduh. Tempatnya nyaman dan bikin
betah.
Aku menghampiri Arip dan Umi Aam yang sedang
mengobrol dengan kepala perpustakaan bernama Viola. Arip tampak asyik mengobrol
menanyakan tentang koleksi buku, cara menjadi anggota, hingga berapa banyak
pengunjung yang datang dengan menggunakan bahasa Inggris. Aku hanya menyimak
tidak ikut mengobrol karena apa yang dibicarakan sudah pahami meskipun sebenarnya
pemahaman bahasa asingku tidak begitu baik.
Kemudian aku berkeliling menyusuri rak-rak
perpustakaan melihat-lihat koleksi buku bersama teman-teman. Ada satu rak
berisi koleksi sastra melayu dan buku karya Mas Gol A Gong berjudul Balada Si
Roy ada di sana. Selain itu, aku memasuki perpustakaan anak. Konsep dekorasinya
benar-benar khusus anak-anak. Aku sebagai orang dewasa betah, apalagi
anak-anak. Tampak ada perosotan bermain, meja kecil, dan lainnya.
Aku membayangkan andai konsep seperti ini berada di
perpustakaan yang ada di tanah air. Pasti banyak anak betah berada di
perpustakaan sehingga semakin semangat membaca buku. Bukan sebaliknya,
perpustakaan sunyi dan angker. Ditambah pustakawannya jutek. Huuh, semoga
perkembangan perpustakaan di tanah air semakin baik. Pustakawannya juga
kece-kece dan ramah.
Selepas dari perpustakaan, aku keluar dan bertemu
Kang Firman, Kang Atif, Ibu Kiswanti, dan Kang Qizink. Kami mengobrol-ngobrol
di depan perpustakaan. Hujan turun perlahan di sana, tapi tidak menyurutkan
semangat kami melakukan perjalanan berikutnya.
Eh, iya. Di Perpustakaan Singapura ternyata bertepatan
dengan acara Festival Membaca. Hal itu terlihat dari iklan reklame dan spanduk
di depan perpustakaan itu.
“Weeeh, ternyata di sini juga ada festival, tapi
festival membaca,” kata Kang Firman Venayaksa girang.
“Re, memang seharusnya begitu, festival membaca
sehingga lebih spesifik,” timpal Kang Atif.
“Iya, sih. Tapi nggak apa-apa. Yang penting Forum
TBM sudah melaksanakan bahkan jadi gerakan dengan awalnya Festival TBM menjadi
Gerakan Indonesia Membaca,” ujar Kang Firman.
“Iya, Den. Coba kamu masuk lagi minta buklet
informasinya. Siapa tahu bisa kita adopsi,” ujar Kang Atif.
Aku masuk di lobi informasi perpustakaan mengambil
buklet acara tersebut. Kedua aktivis literasi ini bahagia bercampur girang
seperti anak-anak menemukan mainan baru. Aku juga ikut bahagia melihat mereka
berdua.
Tidak lama teman-teman dari kelompok II sudah
berkumpun dan siap menuju destinasi berikutnya, yakni Clement. Arip sudah membawa
teman-teman keluar perpustakaan. Sementara aku dan Kang Qizink sedari tadi
sudah di luar menunggu mereka. Kami berangkat menaiki bus bersama kelompok V
menuju Clement.
Takkan Lelah Berjalan
Perjalanan menuju Clement memakan waktu setengah jam lebih. Aku dan
teman-teman duduk di bangku bus lantai dua. Tampak pemandangan pusat kota
Singapura begitu jelas dari tempat duduk itu. Kami saling bercanda dan bertukar
informasi tentang Singapura dengan para fasilitator dan pendamping.
Membayangkan bahwa kami sedang menjelajahi miniaturnya kota-kota di Eropa.
Karena infrastruktur jalan dan tata letak kota yang rapi membuat kami nyaman.
Apalagi menikmati moda transportasi serbacepat, tanpa macet tidak seperti di
Kota Jakarta.
Aku kira Clement sebuah tempat wisata air atau
bukit, tapi setelah sampai sana ternyata bukan. Clement adalah sebuah terminal bus
tetapi dilengkapi dengan pusat jajanan kuliner dan pasar rakyat. Karena itu, tampak
ramai para pengunjung di sana sehingga meskipun terminal bus, tetapi penunjung
bisa santai berbelanja. Konsep seperti ini ternyata menghasilkan memikat
pengunjung sehingga pasar rakyat jadi ramai.
Aku dan teman-teman peserta #vokasimenulis
beristirahat sejenak mengisi perus yang lapar, yakni makan siang. Jarum jam
menunjukkan sekitar pukul 14.00 waktu setempat. Kami berbaur mencari meja makan
menikmati kuliner di Clement. Terlihat dua blok, yakni gerai kuliner muslim dan
gerai kuliner etnis China. Kami memilih makan di gerai kuliner muslim. Aku
pesan gado-gado seharga 3 dolar. Meskipun kami jauh dari Tanah Air, tetapi
naluri mencari kuliner khas tanah kelahiran tidak pernah lupa. Karena itu,
dibeli menu kuliner yang tidak aneh tapi masih bisa ditemukan di tanah air. Ya,
perut kami belum terbiasa dengan masakan ala luar negeri. Beruntungnya di
Singapura masih satu rumpun melayu sehingga masakan Tanah Air mudah ditemukan.
Perut kenyang dan istirahat pun sudah, kami
langsung menuju Stasiun Buona Vista. Di Clement, selain ada terminal bus juga
terintegrasi dengan stasiun MRT. Kami naik MRT di Stasiun Buona Vista menuju ke
destinasi berikutnya, Sentosa Express. Perjalanan menuju Sentosa Express melewati
tujuh stasiun MRT dengan perhentian di Stasiun Harbourfront. Dari Stasiun
Harbourfront, kami naik turun tangga eskalator hingga keluar menuju Sentosa
Express. Karena di sana, katanya akan ada ikon Singapura berikutnya, yakni bola
bumi dengan tulisan Universal Studio.
Menuju ke Universal Studio setelah keluar dari
Stasiun Harbourfront harus berjalan kaki ke kawasan Sentosa Express. Aku agak
aneh dengan penamaan Sentosa. Aku kira dulu nama tokoh Sentosa ini terkenal
atau meleganda sehingga diabadikan dalam sebuah kawasan wisata air dan
permainan. Sepanjang perjalanan tak lelah kami melangkah. Sebab infrastruktur
jalannya mendukung. Ada eskalator sepanjang 200 meter saling sambung
menyambung. Selain itu agar tidak kehujanan dipasang kanopi sehingga pengunjung
wisata nyaman dan terhindar hujan.
Suasana saat itu sedang gerimis, tapi tidak
menyurutkan langkah kami peserta #vokasimenulis menjelajah tempat-tempat di
Singapura. Sesampainya di depan Universal Studio, rasa pegal kaki yang terus
berjalan terbayar. Karena di sana juga bertemu teman-teman dari kelompok lainnya.
Karena itu, kesempatan mengabadikan momen tersebut tidak boleh luput. Kami
berfoto ria antarsesama peserta dengan beberapa kelompok.
Setelah puas, kami beranjak lagi. Awalnya akan
langsung ke Cinatown, tetapi kelompok II memilih beristirahat sejenak pulang
menuju hostel. Karena kunjungan ke
Cinatown akan dilakukan setelah isya atau malam. Meskipun sebagian kelompok
lain ada juga yang menuju tempat lain.
“Ya sudah, kita pulang dulu ke hostel. Nanti sekitar pukul 7, kita
berbelanja ke Cinatown,” ujar Arip selaku pendamping kelompok II AA Navis.
Usulan itu disetuju karena dari kami, terutama Emak
Aan yang lansia, merasa kelelahan setelah berjalan naik-turun eskalator, pindah
dari stasiun satu ke stasiun lain.
“Ayo, kita pulang,” kata Kang Qizink memberi
semangat.
Kami pulang menuju hostel di Kampung Bugis menggunakan moda transportasi MRT.
Wisata Belanja, Tapi Nyasar
Lelah berjalan sepanjang pagi hingga sore terbayar dengan berbaring di
kasur hostel. Setelah itu, aku
bersih-untuk bersih mandi dan salat magrib dilanjutkan salat isya. Sekitar
pukul 7 malam, ketua kelompok dan pendamping sudah memberitahukan akan siapa
saja yang mau ikut. Sebab akan segera berbelanja ke Cinatown karena beberapa
anggota sudah pada kumpul. Aku belum siap karena sedang berkunjung ke kamar
Abdul Salam dan Ade Ubaidil. Berbincang-bincang. Aku pun mengirimkan pesan via Whatsapp bahwa aku dan Khoirul Huda
tidak ikut kesana bersama kelompok II, tapi akan menyusul dengan kelompok V.
Aku berbincang-bincang di kamar Abdul Salam dan
Ade hingga waktu menunjukkan pukul 8 malam lewat. Sementara anggota kelompok V
sudah pada ingin berbelanja kesana. Akhirnya setelah saling menunggu kelompok V
yang belum siap. Ketua kelompok V, Salam, membawa kami ke tempat berbelanja itu
menggunakan transporatasi bus.
Cinatown memang tempatnya berbelanja. Kawasan ini
sengaja dibuat untuk menggiring para pengunjung atau wisatawan yang ingin
berbelanja oleh-oleh khas Singapura. Aku dan teman-teman kelompok V berpencar
setelah sampai Cinatown. Tampak keramaian orang berbelanja berjubel. Aku hanya
ikut mengiringi mereka yang berbelanja. Aku tidak beli apa-apa di sana. Sayang,
uangnya untuk ditabung. Hehehe, tapi bukan itu. Aku tidak terbiasa berbelanja
barang-barang buah tangan. Kadang aku selalu bingung harus memilah-milih barang
yang mau dibeli. Memang murah barang-barang di sana, tapi tidak beda jauh kok
dengan di Tanah Air. Kualitasnya hampir sama, bahkan barang-barang seperti itu
bisa ditemukan di kawasan Monas Jakarta.
Sekitar pukul 10.30 malam, aku dan Abdul Salam
menunggu di pinggir jalan sekitar Cinatown. Beberapa toko mulai tutup. Kami
menunggu peserta kelompok V yang masih berbelanja. Lelah mulai menggelayuti
mata ini. Aku dan Salam berbincang-bincang tentang barang belanjaan.
“Weeeh, Kang. Benar ini nggak beli apa-apa?”
”Aduh, gimana ya. Aku nggak minat sih. Barangnya
kualitas di bawah standar.”
“Ya, nggak apa-apa. Aku mah yang penting beli. Ini
permintaan teman-teman. Sudahlah, biar meskipun nggak bagus,” ujar Salam.
Sementara beberapa peserta yang ditunggu mulai berdatangan. Kami pun pulang.
Kali ini naik MRT di Stasiun Cinatown karena moda transportasi bus sudah nggak
ada.
Lagi-lagi naik-turun eskalator. Kemudian naik MRT dan turun di Stasiun
Bugis. Namun, ada yang lupa ternyata kami salah jalur ketika akan keluar
stasiun. Dengan begitu, saat keluar stasiun malam semakin gelap. Karena
biasanya saat pulang ke Kampung Bugis tidak gelap, tapi kali ini kami
kehilangan jejak. Karena itu, sepanjang mencari jalan menuju Kampung Bugis
tidak ketemu. Beberapa kali bertanya, tapi tetap masih belum ketemu. Akhirnya,
bukan kami saja yang tersasar, tetapi dari kelompok lain juga sama. Maka
bergabunglah kami mencari jalan pulang setelah putar-putar sampai kaki
pegal-pegal. Setelah bertanya sekian kalinya, bertemulah jalur menuju hostel
dan kami sampai ke Kampung Bugis untuk istirahat karena besok hari terakhir
persiapan pulang.
1 komentar: