Recent posts

Hari Kedua di Singapura

September 10, 2017 2 Comments


Menikmati Pagi di Singapura
Rabu pagi (1/6/2016), aku terbangun sekitar pukul 04.00 waktu setempat, padahal semalam baru bisa tidur pukul 01.00. Waktu salat subuh masih satu jam setengah. Biasa di negeri sendiri kalau subuh sekitar pukul 04.30 WIB, maka ketika menginap di Singapura jadwalnya berbeda, yakni beda satu jam (pukul 05.30). Karena itu, aku mencoba tidur kembali. Tapi, ponsel aku bergetar karena ada pesan masuk di grup Whatsapp. Sudah pada bangun belum. Yuk, tahajudan ke masjid (dari Rahmat Heldy). Kemudian dibalas Farid, yuk qiamulail. Tahajud. Mumpung belum subuh. Aku hanya melotot sejenak dan tidur kembali hingga pukul setengah enam terbangun untuk salat subuh.
Hal paling menarik dalam setiap perjalanan adalah ketika menikmati pagi di tempat yang baru kita kunjungi. Aku bergegas mengganti baju keluar hostel menikmati pagi. Aku ajak Farid yang juga sudah siap menjelajahi Kampung Glam atau Bugis. Aku susuri jalan-jalan Kampung Glam bersama Farid, eh tapi ternyata sudah ada Aeny, Diofany, Ahmad Wayang, dan Via di sana. Aku nikmati kesunyian Kampung Glam. Apalagi setiap bangunan berupa gerai kuliner di tembok-temboknya terlukis gambar grafiti menarik. Aku abadikan dalam kamera ponsel.



Setelah puas menikmati pagi di Kampung Glam, aku dan teman-teman bergegas balik ke hostel untuk mandi. Sekitar pukul 08.00, aku menuju Restaurant Victoria bersama Giani, Diofany, dan Eka Nurul. Memesan menu sarapan pagi, tapi bukan nasi. Padahal kami ingin makan sarapan nasi namun yang ada hanya martabak telur. Karena perut lapar, maka dipesanlah menu sarapan tersebut.
“Mom, I want to order rice,” kata Giani.
“Oh, no rice. There is martubruk,” kata ibu pelayan.
Kami berempat meletot heran. Dalam hati, ya tidak ada nasi. Padahal pengen nasi uduk atau nasi goreng. hehehe
“Wah, nggak ada nasi ya. Bagaimana?” tanya aku pada teman-teman.
“Ya sudahlah. Nggak apa-apa,” kata Dio diikuti Eka.
Kami pesan martabak telur, dua teh hangat, satu botol air mineral, dan aku pesan es teh tarik. Kami berempat makan dengan lahap sarapan itu. seperti orang yang belum makan berhari-hari. Setelah makanan habis, kami membayar dengan total 15 dolar Singapura. Murah untuk ukuran di Singapura, tapi mahal bagi kita orang Indonesia. Karena 1 dolar = Rp10.000. Jika 15 dolar = Rp150.000. Mahal banget, tapi tidak apa-apa. Mumpung dibiayai negara untuk menikmati menjadi warga Singapura sementara.
Rabu pagi itu rencananya akan ke Singapura Library, tapi sebelumnya tiap kelompok ada briefing dengan Mas Gol A Gong di Malaya Heritage membicarakan persiapan menulis catatan perjalanan yang bakal jadi buku dimulai dengan konsep judul. Setelah per kelompok selesai briefing dengan Mas Gong, maka dipersilakan menuju Perpustakaan Singapura. Kami kelompok II langsung berangkat menuju ke sana naik Bus Transingapura. Kartu ajaib Singapura harus dibawa karena itu memudahkan kami mengakses transportasi di Singapura, terutama moda transportasi MRT dan bus.


Ngobrol Bareng Muhzaini
Perjalanan dari Kampung Bugis menuju Perpustakaan Singapura tidak berlangsung lama sekitar lima belas menit. Kami kelompok II memasuki gedung dengan tulisan National Library Building. Aku terkagum-kagum melihat Perpustakaan Singapura berlantai delapan tersebut. Di lobi depan gedung itu sudah memikat pengunjung untuk masuk. Aku dan teman-teman merasa bahagia berada di gedung penuh buku itu.
“Nanti di Perpustakaan Singapura jangan berisik ya. Boleh kok foto-foto, tapi jangan beramai-ramai,” kata Mas Gol A Gong sebelum kami peserta #vokasimenulis berangkat ke Singapura dan diulang lagi saat di Malaya Heritage.
Namun, tetap ada teman-teman peserta #vokasimenulis yang berisik sehingga harus diingatkan. Aku berpisah dari kelompok II menyusuri lantai tiap lantai serta ruangan di sana bersama Yehan. Di lantai berikutnya, aku terpisah sendiri sebelum akhirnya bertemu Hilman Sutedja. Aku dan Hilman mengunjungi ruang perpustakaan dewasa. Tampak beberapa pengunjung khusyuk membaca buku dan berakses internet.
Kemudian aku dan Hilman naik terus hingga ke lantai paling atas masih ditemukan ruang perpustakaan dewasa, tapi kami sempat berbincang dengan petugas keamanan perpustakaan di sana.
“Mr, maybe came in this room?”
“Oh, oke. Please...”
Setelah diperiksa kami langsung masuk ruang perpustakaan melihat-lihat koleksi buku yang tertata rapi. Tidak lama kami pun keluar lagi. Kemudian kami bertemu kembali dengan petugas itu. Hilman menanyakan identitas petugas jaga tersebut.
“Mr, can you speak english or melayu?”
“Oh, dari Indonesia ya,” kata petugas itu dengan aksen melayunya.
“Iya, Pakci,” ujar Hilman.
“Oke, periksa dulu ya.”
Aku dan Hilman diperiksa lagi.
“Nama Pakci siapa?”
“Oh, name saye Muhzaini. Kalian buat ape ke Singapore?”
“Saya Hilman, dari Banteng juga mahasiswa Unpad, Bandung.”
“Saya Deden atau Muhzen.”
Aku dan Hilman saling memperkenal diri kepada Pak Muhzaini.
“Kalian sedang ape di sini?”
“Kami sedang studi banding atau liburan,” kata Hilman.
“Iya, Pak. Kami sedang liburan,” ujarku.
Kemudian Pak Muhzaini mengerutkan kening dengan tatapan mata meneliti.
“Buat ape liburan ke Singapore. Di sini baiknye belajar dan bekerja. Orang-orang sini tak ada yang malas. Tidak di negeri kalian. Dulu awak pernah ke Indonesia bersua teman di sana. Tapi, aduh...”
Aku dan Hilman hanya nyengir sambil bertanya.
“Ada apa Pakci?”
“Indonesia itu kaya. Sumber daya alam banyak. Tapi sayang, orangnya malas. Banyak korupsi. Di sini itu jalur transportasi teratur, tapi di Jakarta. Aduh, itu macam balapan. Banyak pelanggaran.”
Aku dan Hilman tertawa sambil mengangguk-ngangguk menyetujui apa yang dikatakan Pak Muhzaini.
“Maka itu, kami datang kesini, Pakci. Mau belajar,” kata Hilman.
“Iya, Pakci. Kami harus bagaimana supaya seperti Singapore,” tambahku.
“Singapore itu kecil. Tak ada kekayaan alamnya, tapi orang-orang di sini disiplin dan bekerja keras. Pemerintah memberi aturan tegas dan menyediakan pekerjaan,” ujar Pak Muhzaini.
“Iya, itu Pakci. Kenapa orang jompo di sini masih tetap kerja. Beda dengan di negeri kami, kebanyakan anak muda kerja begitu.”
“Oh, di sini memang harus kerja. Bagian itu diserahkan ke orang jompo. Tapi anak muda punya pekerjaan lebih tinggi dari itu. Semacam berniaga atau kerja kantor. Kalian harus banyak belajar dan bekerja supaya seperti Singapore. Itu saja,” kata Pak Muhzaini mengakhiri obrolan kami.
Selain itu, di Singapura ada larangan merokok di area publik. Karena itu, setiap mau merokok atau perokok di sana tidak bebas seperti di Tanag Air. Di Singapura bagi perokok itu tempatnya dihinakan atau nista, yakni harus merokok di depan tempat sampat/tong sampah. Tidak bisa merokok di tempat-tempat umum. Karena bisa kena denda 2000 dolar setara dengan Rp20.000.000.
 Aku dan Hilman pun berpamitan dan menuju lantai paling bawah, yakni ke perpustakaan umum dan anak. Di perpustakaan ini kami bertemu teman-teman dari kelompok lainnya. Saling mengobrol dan bercanda, tapi tidak gaduh. Tempatnya nyaman dan bikin betah.
Aku menghampiri Arip dan Umi Aam yang sedang mengobrol dengan kepala perpustakaan bernama Viola. Arip tampak asyik mengobrol menanyakan tentang koleksi buku, cara menjadi anggota, hingga berapa banyak pengunjung yang datang dengan menggunakan bahasa Inggris. Aku hanya menyimak tidak ikut mengobrol karena apa yang dibicarakan sudah pahami meskipun sebenarnya pemahaman bahasa asingku tidak begitu baik.




Kemudian aku berkeliling menyusuri rak-rak perpustakaan melihat-lihat koleksi buku bersama teman-teman. Ada satu rak berisi koleksi sastra melayu dan buku karya Mas Gol A Gong berjudul Balada Si Roy ada di sana. Selain itu, aku memasuki perpustakaan anak. Konsep dekorasinya benar-benar khusus anak-anak. Aku sebagai orang dewasa betah, apalagi anak-anak. Tampak ada perosotan bermain, meja kecil, dan lainnya.
Aku membayangkan andai konsep seperti ini berada di perpustakaan yang ada di tanah air. Pasti banyak anak betah berada di perpustakaan sehingga semakin semangat membaca buku. Bukan sebaliknya, perpustakaan sunyi dan angker. Ditambah pustakawannya jutek. Huuh, semoga perkembangan perpustakaan di tanah air semakin baik. Pustakawannya juga kece-kece dan ramah.
Selepas dari perpustakaan, aku keluar dan bertemu Kang Firman, Kang Atif, Ibu Kiswanti, dan Kang Qizink. Kami mengobrol-ngobrol di depan perpustakaan. Hujan turun perlahan di sana, tapi tidak menyurutkan semangat kami melakukan perjalanan berikutnya.
Eh, iya. Di Perpustakaan Singapura ternyata bertepatan dengan acara Festival Membaca. Hal itu terlihat dari iklan reklame dan spanduk di depan perpustakaan itu.
“Weeeh, ternyata di sini juga ada festival, tapi festival membaca,” kata Kang Firman Venayaksa girang.
“Re, memang seharusnya begitu, festival membaca sehingga lebih spesifik,” timpal Kang Atif.
“Iya, sih. Tapi nggak apa-apa. Yang penting Forum TBM sudah melaksanakan bahkan jadi gerakan dengan awalnya Festival TBM menjadi Gerakan Indonesia Membaca,” ujar Kang Firman.
“Iya, Den. Coba kamu masuk lagi minta buklet informasinya. Siapa tahu bisa kita adopsi,” ujar Kang Atif.
Aku masuk di lobi informasi perpustakaan mengambil buklet acara tersebut. Kedua aktivis literasi ini bahagia bercampur girang seperti anak-anak menemukan mainan baru. Aku juga ikut bahagia melihat mereka berdua.
Tidak lama teman-teman dari kelompok II sudah berkumpun dan siap menuju destinasi berikutnya, yakni Clement. Arip sudah membawa teman-teman keluar perpustakaan. Sementara aku dan Kang Qizink sedari tadi sudah di luar menunggu mereka. Kami berangkat menaiki bus bersama kelompok V menuju Clement.





Takkan Lelah Berjalan
Perjalanan menuju Clement memakan waktu setengah jam lebih. Aku dan teman-teman duduk di bangku bus lantai dua. Tampak pemandangan pusat kota Singapura begitu jelas dari tempat duduk itu. Kami saling bercanda dan bertukar informasi tentang Singapura dengan para fasilitator dan pendamping. Membayangkan bahwa kami sedang menjelajahi miniaturnya kota-kota di Eropa. Karena infrastruktur jalan dan tata letak kota yang rapi membuat kami nyaman. Apalagi menikmati moda transportasi serbacepat, tanpa macet tidak seperti di Kota Jakarta.
Aku kira Clement sebuah tempat wisata air atau bukit, tapi setelah sampai sana ternyata  bukan. Clement adalah sebuah terminal bus tetapi dilengkapi dengan pusat jajanan kuliner dan pasar rakyat. Karena itu, tampak ramai para pengunjung di sana sehingga meskipun terminal bus, tetapi penunjung bisa santai berbelanja. Konsep seperti ini ternyata menghasilkan memikat pengunjung sehingga pasar rakyat jadi ramai.
Aku dan teman-teman peserta #vokasimenulis beristirahat sejenak mengisi perus yang lapar, yakni makan siang. Jarum jam menunjukkan sekitar pukul 14.00 waktu setempat. Kami berbaur mencari meja makan menikmati kuliner di Clement. Terlihat dua blok, yakni gerai kuliner muslim dan gerai kuliner etnis China. Kami memilih makan di gerai kuliner muslim. Aku pesan gado-gado seharga 3 dolar. Meskipun kami jauh dari Tanah Air, tetapi naluri mencari kuliner khas tanah kelahiran tidak pernah lupa. Karena itu, dibeli menu kuliner yang tidak aneh tapi masih bisa ditemukan di tanah air. Ya, perut kami belum terbiasa dengan masakan ala luar negeri. Beruntungnya di Singapura masih satu rumpun melayu sehingga masakan Tanah Air mudah ditemukan.
Perut kenyang dan istirahat pun sudah, kami langsung menuju Stasiun Buona Vista. Di Clement, selain ada terminal bus juga terintegrasi dengan stasiun MRT. Kami naik MRT di Stasiun Buona Vista menuju ke destinasi berikutnya, Sentosa Express. Perjalanan menuju Sentosa Express melewati tujuh stasiun MRT dengan perhentian di Stasiun Harbourfront. Dari Stasiun Harbourfront, kami naik turun tangga eskalator hingga keluar menuju Sentosa Express. Karena di sana, katanya akan ada ikon Singapura berikutnya, yakni bola bumi dengan tulisan Universal Studio.




Menuju ke Universal Studio setelah keluar dari Stasiun Harbourfront harus berjalan kaki ke kawasan Sentosa Express. Aku agak aneh dengan penamaan Sentosa. Aku kira dulu nama tokoh Sentosa ini terkenal atau meleganda sehingga diabadikan dalam sebuah kawasan wisata air dan permainan. Sepanjang perjalanan tak lelah kami melangkah. Sebab infrastruktur jalannya mendukung. Ada eskalator sepanjang 200 meter saling sambung menyambung. Selain itu agar tidak kehujanan dipasang kanopi sehingga pengunjung wisata nyaman dan terhindar hujan.
  Suasana saat itu sedang gerimis, tapi tidak menyurutkan langkah kami peserta #vokasimenulis menjelajah tempat-tempat di Singapura. Sesampainya di depan Universal Studio, rasa pegal kaki yang terus berjalan terbayar. Karena di sana juga bertemu teman-teman dari kelompok lainnya. Karena itu, kesempatan mengabadikan momen tersebut tidak boleh luput. Kami berfoto ria antarsesama peserta dengan beberapa kelompok.
Setelah puas, kami beranjak lagi. Awalnya akan langsung ke Cinatown, tetapi kelompok II memilih beristirahat sejenak pulang menuju hostel. Karena kunjungan ke Cinatown akan dilakukan setelah isya atau malam. Meskipun sebagian kelompok lain ada juga yang menuju tempat lain.
“Ya sudah, kita pulang dulu ke hostel. Nanti sekitar pukul 7, kita berbelanja ke Cinatown,” ujar Arip selaku pendamping kelompok II AA Navis.
Usulan itu disetuju karena dari kami, terutama Emak Aan yang lansia, merasa kelelahan setelah berjalan naik-turun eskalator, pindah dari stasiun satu ke stasiun lain.
“Ayo, kita pulang,” kata Kang Qizink memberi semangat.
Kami pulang menuju hostel di Kampung Bugis menggunakan moda transportasi MRT.


Wisata Belanja, Tapi Nyasar
Lelah berjalan sepanjang pagi hingga sore terbayar dengan berbaring di kasur hostel. Setelah itu, aku bersih-untuk bersih mandi dan salat magrib dilanjutkan salat isya. Sekitar pukul 7 malam, ketua kelompok dan pendamping sudah memberitahukan akan siapa saja yang mau ikut. Sebab akan segera berbelanja ke Cinatown karena beberapa anggota sudah pada kumpul. Aku belum siap karena sedang berkunjung ke kamar Abdul Salam dan Ade Ubaidil. Berbincang-bincang. Aku pun mengirimkan pesan via Whatsapp bahwa aku dan Khoirul Huda tidak ikut kesana bersama kelompok II, tapi akan menyusul dengan kelompok V.
Aku berbincang-bincang di kamar Abdul Salam dan Ade hingga waktu menunjukkan pukul 8 malam lewat. Sementara anggota kelompok V sudah pada ingin berbelanja kesana. Akhirnya setelah saling menunggu kelompok V yang belum siap. Ketua kelompok V, Salam, membawa kami ke tempat berbelanja itu menggunakan transporatasi bus.
Cinatown memang tempatnya berbelanja. Kawasan ini sengaja dibuat untuk menggiring para pengunjung atau wisatawan yang ingin berbelanja oleh-oleh khas Singapura. Aku dan teman-teman kelompok V berpencar setelah sampai Cinatown. Tampak keramaian orang berbelanja berjubel. Aku hanya ikut mengiringi mereka yang berbelanja. Aku tidak beli apa-apa di sana. Sayang, uangnya untuk ditabung. Hehehe, tapi bukan itu. Aku tidak terbiasa berbelanja barang-barang buah tangan. Kadang aku selalu bingung harus memilah-milih barang yang mau dibeli. Memang murah barang-barang di sana, tapi tidak beda jauh kok dengan di Tanah Air. Kualitasnya hampir sama, bahkan barang-barang seperti itu bisa ditemukan di kawasan Monas Jakarta.
Sekitar pukul 10.30 malam, aku dan Abdul Salam menunggu di pinggir jalan sekitar Cinatown. Beberapa toko mulai tutup. Kami menunggu peserta kelompok V yang masih berbelanja. Lelah mulai menggelayuti mata ini. Aku dan Salam berbincang-bincang tentang barang belanjaan.
“Weeeh, Kang. Benar ini nggak beli apa-apa?”
”Aduh, gimana ya. Aku nggak minat sih. Barangnya kualitas di bawah standar.”
“Ya, nggak apa-apa. Aku mah yang penting beli. Ini permintaan teman-teman. Sudahlah, biar meskipun nggak bagus,” ujar Salam. Sementara beberapa peserta yang ditunggu mulai berdatangan. Kami pun pulang. Kali ini naik MRT di Stasiun Cinatown karena moda transportasi bus sudah nggak ada.
Lagi-lagi naik-turun eskalator. Kemudian naik MRT dan turun di Stasiun Bugis. Namun, ada yang lupa ternyata kami salah jalur ketika akan keluar stasiun. Dengan begitu, saat keluar stasiun malam semakin gelap. Karena biasanya saat pulang ke Kampung Bugis tidak gelap, tapi kali ini kami kehilangan jejak. Karena itu, sepanjang mencari jalan menuju Kampung Bugis tidak ketemu. Beberapa kali bertanya, tapi tetap masih belum ketemu. Akhirnya, bukan kami saja yang tersasar, tetapi dari kelompok lain juga sama. Maka bergabunglah kami mencari jalan pulang setelah putar-putar sampai kaki pegal-pegal. Setelah bertanya sekian kalinya, bertemulah jalur menuju hostel dan kami sampai ke Kampung Bugis untuk istirahat karena besok hari terakhir persiapan pulang.

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

2 komentar:

  1. Asik ya bisa jalan-jalan ke Singapore.

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah diajak ke Singapura walaupun dalam bentuk tumblernya aja :p

    BalasHapus