Recent posts

Tiga Hari Menjadi Warga Singapura

September 09, 2017 5 Comments

Peserta Vokasi Menulis saat foto bersama sebelum berangkat ke Singapura (FotoDok/Muhzen) 
Dalam kegiatan Bimbingan Teknis Vokasi Menulis Bagi Peserta Didik: Program Pendidikan Kesetaraan dan Pendidikan Keberlanjutan yang diselenggarakan pada 28 Mei hingga 2 Juni 2016, panitia pelaksana kegiatan TBM Rumah Dunia dan Komunitas Masyarakat Belajar bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), aku tergabung di kelompok II (AA Navis) yang diketuai/fasilitator Qizink La Aziva dan pendamping Muhammad Arip Baehaqi. Peserta lainnya dalam kelompok ini selain aku, yakni Emak Aan, Umi Aam, Pak Rohim, Rohim Gumelar, Naufalia Qisti, Khoirul Huda, Gita Rizki Hastari, dan Yehan Minara.
Kelompok kami perpaduan antara kaum muda dan tua. Sebab anggota paling tua Emak Aan dan paling muda Naufalia Qisti. Karena itu, aku dan teman-teman bisa saling menahan diri untuk tidak terjadi konflik serta saling mengingatkan akan pentingnya sebuah kerja sama tim. Kelompok kami bukan tidak ada masalah. Masalah pasti ada, tetapi hal tersebut sebisa mungkin di kelompok diminimalisasikan agar tidak berlarut-larut. Karena fasilitator atau pendamping sudah menjelaskan dan mengimbau agar saling bekerja sama antaranggota. Karena perjalanan selama tiga hari di Singapura akan mengajarkan banyak hal, di antaranya tentang kedisiplinan, keteraturan, dan ketaatan, sehingga harus saling mengingatkan satu sama lainnya agar tetap solid serta kompak.


Debarkasi Changi
Pukul 14.00 waktu Singapura, kami kelompok II beserta empat kelompok lainnya yang melakukan penerbangan pertama mendarat dengan selamat di Bandara Changi, Singapura. Tampak wajah-wajah lelah dan tegang tergambar jelas di antara peserta/anggota kelompok. Aku berusaha tenang menginjakkan kaki di bandara ini, juga teman-teman kelompok II. Berusaha rileks dan tidak dijadikan beban. Teori-teori yang dijelaskan saat materi selama tiga hari di Rumah Dunia harus diimplementasikan dalam bentuk perilaku nyata. Sebab teori tanpa praktik akan sia-sia sehingga lenyap dalam penyesalan.
Padahal sebelumnya ketika masih di pesawat saat penerbangan menuju ke Bandara Changi, kami dan teman-teman kelompok lain tidak setegang saat di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Paling juga ketegangan saat pesawat take off (terbang) karena terjadi perubahan gaya gravitasi sehingga ada tekanan dalam organ tubuh kita yang terangkat ke atas. Namun, saat di bandara para peserta kelompok penerbangan pertama tampak menunjukkan kecemasan dan ketakutan akan ketatnya peraturan yang diterapkan di Bandara Changi.
Karena dari lima kelompok tersebut ketika di Bandara Changi harus berusaha adapatasi dan pura-pura tidak saling mengenal dengan kelompok lainnya. Aku dan teman-teman kelompok II bekerumun tidak memedulikan kelompok lainnya. Sebab kata Mas Gol A Gong, “Ketika kalian di Bandara Changi, maka sebisa mungkin jangan berkumpul dalam lima kelompok. Tetapi harus ikut dengan fasilitator dan pendamping yang menjadi koordinator perjalanan agar semacam ini tidak dicurigai para petugas keamaan bandaran. Karena khawatir ditegur atau tanyai macam-macam sehingga ketahuan kalau kalian baru pertama kali ke Singapura.”
Wejangan itu membuat kami dan peserta lainnya berusaha melakukan proses adapatasi tempat dengan cepat, meski ada juga peserta lain pernah pergi keluar negeri memberitahukan teman-teman lainnya atau mengikuti instruksi yang sudah diatur. Kami dan para peserta dari empat kelompok lainnya masing-masing memasuki ruang pemeriksaan barang bawaan. Inilah pintu pertama pemeriksaan menguji ketegangan teman-teman bahwa barang yang dibawa lolos dari pemeriksaan sehingga bisa lanjut ke pintu berikutnya. Pada pemeriksaan ini semua peserta #vokasimenulis penerbangan pertama lolos. 
Aku berkumpul dengan kelompok II agar tidak saling memisahkan diri. Aku mengamati di sekitar Bandara Changi. Suasana nyaman dan tertata rapi membuat pengunjung seperti aku yang baru pertama kali ke luar negeri (Singapura) merasa betah dan langsung mengabadikan momen suasana tersebut dengan jepretan kamera ponsel. Aku ke toilet membuang ketegangan dan beban dalam tubuh dengan buang air kecil. Kemudian aku mengisi botol plastik sengaja dibawa dari rumah pemberian kekasih tercinta untuk diisi air mineral yang tersedia di bandara.


Kata teman-teman relawan yang pernah ke Singapura bahwa beli air mineral botol di negeri serumpun itu mahal, maka harus bawa botol kosong agar diisi air di bandara. Ternyata pemberitahuan itu berguna sehingga botol kosong yang aku bawa dari rumah bermanfaat fungsinya untuk meredakan dahaga ini.
Setelah masing-masing kelompok berpencar mengikuti koordinatornya, maka kami pun rileks untuk istirahat sejenak. Meskipun pintu pemeriksaan yang ketat menanti, yakni pemeriksaan paspor. Kami terus berjalan sambil mengobrol dan mengamati keindahan di Bandara Changi. Berfoto di tempat-tempat yang tidak dilarang untuk mengabadikan momen sejarah menginjakkan kaki di Bandara Changi. Setelah itu, kembali menyiapkan paspor dan siap ditahan petugas imigrasi, apabila dimintai keterangan identitas terkait nama kami terindikasi dalam nama-nama yang dilarang masuk atau dicurigai Negeri Singa Putih.
Kami turun ke lantai dasar menuju pintu imigrasi atau pintu pemeriksaan paspor. Tampak sekitar 5­­-6 jalur pengunjung berbaris mengantre giliran dipanggil petugas. Dari lima kelompok peserta #vokasimenulis, ada tiga peserta, satu fasilitator, dan satu pendamping yang namanya terindikasi dalam daftar orang terlarang sehingga tertahan karena dimintai keterangannya. Sementara kami dari kelompok II semuanya lolos pemeriksaan paspor dan nama sehingga bisa melanjutkan perjalanan keluar dari Bandara Changi.
Masih di Bandara Changi, tepatnya di lobi. Kami beserta kelompok yang lolos pemeriksaan beristirahat sejenak di kursi tunggu untuk menunggu peserta yang ditahan atau peserta belum keluar dari pemeriksaan imigrasi. Dari setiap fasilitator mengoordinasikan anggotanya agar menukarkan mata uang rupiah dengan mata uang dolar Singapura. Aku termasuk yang menukarkan uang rupiah dengan dolar Singapura. Uang Rp400.000 hanya mendapatkan  uang 40 dolar Singapura, sangat jomplang kurs mata uang kita dihargai di negeri ini, yakni 1 dolar Singapura = Rp10.000. Betapa jauh kemajuan Singapura dari segi ekonomi sehingga nilai uangnya pun lebih berharga dan mahal dibandingkan mata uang negeri kita. Miris!
Sebelumnya para peserta sudah mengantongi uang dolar Singapura sejumlah 50. Karena panitia memberikan uang saku Rp800.000 dipecah menjadi bentuk 50 dolar dan Rp300.000 sebagai persiapan. 
Setelah beristirahat, kami menuju lantai paling bawah menuju skytrain atau stasiun MRT (monorel rapid trans). Di skytrain terdapat larangan meminum air mineral dan merokok. Meskipun ada saja peserta yang melanggar di tempat itu namun tidak ada petugas jaga. Eh, jangan girang dulu. Sebab di setiap sudut ruangan terpasang CCTV yang siap merekam aktivitas kita. Setiap koordinator kelompok meminta kepada tiap peserta menyisihkan uang 30 dolar untuk membeli kartu ajaib atau kartu pas Singapura seharga 30 dolar. Sedangkan peserta disuruh menunggu sejenak sebalum nanti berangkat naik MRT. 


Setelah koordinator kelompok membeli kartu pas Singapura, kami siap berangkat menjelajahi Singapura dengan menggunakan MRT. Transportasi kereta supercepat ini adalah moda transportasi paling murah di Negeri Singa. Termasuk juga dengan moda transportasi busnya. Kalau kita berkunjung ke Singapura tidak perlu repot karena moda transportasi ini mempermudah wisatawan atau pelancong dalam berwisata.
Kami naik MRT dari Stasiun Bandara Changi menuju Stasiun Tanah Merah (di dalam peta transportasi jalurnya berwarna hijau). Tidak menunggu lama. Kereta tersebut membawa kami menembus lorong-lorong bawah tanah kemudian meliuk-liuk menampakkan diri di permukaan. Setelah sampai Stasiun Tanah Merah, kami berganti MRT arah Stasiun Joo Koon karena akan menuju destinasi pertama, yakni Patung Singa Putih atau Merlion (ikon Singapura). 
Selain itu, di dalam MRT diupayakan menjaga sikap agar tidak gaduh. Sebab banyak warga Singapura, terutama kaum wanita dengan penampilan baju dan celana ketat bahkan pendek (seksi). Bagi lelaki harus jaga mata, sebab akan berseliweran para wanita berpakaian minim mengundang syahwat. Meskipun tampak di depan mata, tapi kita harus menahan diri. Jangan terlalu lama ditatap khawatir akan menimbulkan kecurigaan sehingga bisa dilaporkan ke petugas keamanan.


Patung Singa
Satu per satu stasiun MRT dilewati mulai dari Stasiun Tanah Merah, Bedok, Kembangan, Eunos, Praya Lebar, Aljunied, Kallang, Lavender, Bugis, City Hall, dan berhenti di Stasiun Raffles Place. Ketika sampai di Stasiun Raffles Place, kami keluar dari stasiun menuju sebuah taman istirahat atau Raffles Place Garden yang diapit gedung bertingkat. Kami duduk-duduk sejenak menikmati keramaian warga Singapura yang juga menikmati taman kecil itu untuk beristirahat. Tidak lama setelah berfoto-foto, kami kelompok II dan kelompok lainnya bersamaan akan menuju Patung Merlion berjalan kaki menyusuri taman-taman di pinggir sungai hingga tembus ke jalan menuju tempat destinasi pertama tersebut.
Kalau kita jalan-jalan ke Singapura jangan memakai baju tebal, seperti memakai jaket atau abju rangkap lainnya karena di Singapura bercuaca panas (tropis). Hal ini dipengaruhi juga luas wilayah negara itu yang kecil atau hampir sama dengan Kota Jakarta. Selain itu, di Singapura tidak berbukit dan tidak punya gunung, maka tidak heran cuacanya panas. Negeri ini bisa dikatakan juga daratan pesisir. Sebab selain infrastrukturnya bagus, juga dikelilingi banyak pelabuhan aktif yang aktivitasnya padat dan sibuk.
Setelah menyusuri jalan di pinggir sungai. Kami menyeberangi perempatan jalan karena Patung Merlion ada di seberang jalan. Kami masih berjalan kaki di bawah terik matahari sore. Beberapa meter berjalan, maka kami sampai di sebuah taman kecil, tempat Patung Singa itu berada. Bukan hanya kami yang berada di sana, tapi ternyata sudah banyak orang berkerumun mengabadikan momen perjalanannya di depan Patung Merlion. Aku tidak mau ketinggalan mengabadikan momen perjalanan ini. Meskipun dengan peluh lelah perjalanan setelah naik pesawat dan berjalan kaki. Semua itu harus dibuat bahagia karena aku dan teman-teman selama tiga hari akan menjadi warga Singapura. 
Setelah lama menikmati Patung Merlion, sekitar pukul 19.00 waktu setempat, kami bersama kelompok lainnya bersiap menuju penginapan di Kampung Bugis atau Kampung Glam. Berjalan kaki lagi. Naik MRT lagi. Kami tidak akan bosan. 


Menginap di Bugis
Setelah menikmati destinasi Patung Merlion, kami sampai di Kampung Bugis (destinasi kedua) untuk beristirahat. Perjalanan dari Patung Merlion menuju Kampung Bugis masih menggunakan MRT. Sebelum menuju penginapan, terlebih dahulu aku dan teman-teman makan malam di gerai kuliner sekitar Kampung Bugis. Aku memisahkan diri dari kelompok II. Aku bersama Diofany, Giani Marisa, Ahmad Wayang, dan Brandon, makan malam menu nasi briyani plus daging lembu dengan minuman teh tarik hangat di Restaurant Victoria. Makan malam dengan menu ala India ini memang agak aneh di perut aku dan teman-teman. Bentuk nasinya tidak seperti nasi di Tanah Air, apalagi dengan porsinya yang banyak. Satu porsi makan malam itu cukup empat orang, sementara Brandon hanya menikmati minuman air mineral botol.
Setelah perut kenyang, aku dan teman-teman berpisah bergabung dengan kelompoknya masing-masing. Aku tidur di Hostel ABC, sebuah penginapan tipe kelas melati sekamar dengan Khoirul Huda dengan tempat tidur bertingkat. Sebelum tidur, aku mengunjungi kamar temanku, Abdul Salam, Ade Ubaidil, dan Farid Supriadi. Berbincang-bincang sejenak dilanjutkan dengan salat wajib yang dijamak di Masjid Sultan. 
Masjid Sultan ini juga salah satu ikon Singapura. Jika kita ke Negeri Singa Putih akan jarang bahkan susah menemukan masjid. Tidak seperti di negeri kita. Di Singapura tata letak kotanya rapi dan tempat ibadah tidak sembarang dibangun oleh masyarakat, melainkan harus dibangun pemerintah/negara. Karena setiap kawasan (distrik) dibangun masjid, kuil, kelenteng, dan gereja, tapi harus di kawasan tertentu. Karena di pusat kota Singapura kita tidak akan menemukan tempat Tuhan itu.

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

5 komentar:

  1. Pengalaman luar biasa, ga sekedar dpt ilmu dan informasi malalui pelatihan2 tp juga dpt tmn2 baru plus jalan2 keliling singapura
    Wuihhh
    Kereeeen

    BalasHapus
  2. Wah asiknya jalan2 sambil belajar nulis dari mas Gola Gong di Singapura. Nanti kisahnya dibukukan ya?

    BalasHapus
  3. Seru ya ...nggak cuma dapat ilmu, tapi dapat pengalaman juga.

    Aku blm pernah ke LN... Budget masih bnyk kepakai buat dana pendidikan anak2

    BalasHapus
  4. Wah, senangnya bisa belajar sekalian jalan-jalan ke Singapura...ditunggu kelanjutan ceritanya..:)
    Semoga sukses ya...

    BalasHapus
  5. Wah asiknya ada vokasi menulis. Gimana sih itu caranya? Aku sudah pernah ke Singapura tapi dalam rangka tugas kantor sih sekitar 2 bulanan & waktu itu belum ngeblog maupun nulis, jadi nggak ada apapun yg bisa dibaca sekarang sbg pengingat.

    BalasHapus