Tiga Hari Menjadi Warga Singapura
Peserta Vokasi Menulis saat foto bersama sebelum berangkat ke Singapura (FotoDok/Muhzen) |
Dalam kegiatan Bimbingan Teknis Vokasi Menulis Bagi Peserta Didik: Program Pendidikan
Kesetaraan dan Pendidikan Keberlanjutan yang diselenggarakan pada 28 Mei hingga 2
Juni 2016, panitia pelaksana kegiatan TBM Rumah Dunia dan Komunitas Masyarakat Belajar
bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), aku
tergabung di kelompok II (AA Navis) yang diketuai/fasilitator Qizink La Aziva dan
pendamping Muhammad Arip Baehaqi. Peserta lainnya dalam kelompok ini selain
aku, yakni Emak Aan, Umi Aam, Pak Rohim, Rohim Gumelar, Naufalia Qisti, Khoirul
Huda, Gita Rizki Hastari, dan Yehan Minara.
Kelompok kami perpaduan antara kaum muda
dan tua. Sebab anggota paling tua Emak Aan dan paling muda Naufalia Qisti.
Karena itu, aku dan teman-teman bisa saling menahan diri untuk tidak terjadi
konflik serta saling mengingatkan akan pentingnya sebuah kerja sama tim. Kelompok
kami bukan tidak ada masalah. Masalah pasti ada, tetapi hal tersebut sebisa
mungkin di kelompok diminimalisasikan agar tidak berlarut-larut. Karena fasilitator
atau pendamping sudah menjelaskan dan mengimbau agar saling bekerja sama
antaranggota. Karena perjalanan selama tiga hari di Singapura akan mengajarkan
banyak hal, di antaranya tentang kedisiplinan, keteraturan, dan ketaatan,
sehingga harus saling mengingatkan satu sama lainnya agar tetap solid serta
kompak.
Debarkasi Changi
Pukul
14.00 waktu Singapura, kami kelompok II beserta empat kelompok lainnya yang
melakukan penerbangan pertama mendarat dengan selamat di Bandara Changi,
Singapura. Tampak wajah-wajah lelah dan tegang tergambar jelas di antara
peserta/anggota kelompok. Aku berusaha tenang menginjakkan kaki di bandara ini,
juga teman-teman kelompok II. Berusaha rileks dan tidak dijadikan beban.
Teori-teori yang dijelaskan saat materi selama tiga hari di Rumah Dunia harus
diimplementasikan dalam bentuk perilaku nyata. Sebab teori tanpa praktik akan
sia-sia sehingga lenyap dalam penyesalan.
Padahal sebelumnya ketika masih di
pesawat saat penerbangan menuju ke Bandara Changi, kami dan teman-teman kelompok
lain tidak setegang saat di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Paling
juga ketegangan saat pesawat take off
(terbang) karena terjadi perubahan gaya gravitasi sehingga ada tekanan dalam
organ tubuh kita yang terangkat ke atas. Namun, saat di bandara para peserta
kelompok penerbangan pertama tampak menunjukkan kecemasan dan ketakutan akan
ketatnya peraturan yang diterapkan di Bandara Changi.
Karena dari lima kelompok tersebut
ketika di Bandara Changi harus berusaha adapatasi dan pura-pura tidak saling
mengenal dengan kelompok lainnya. Aku dan teman-teman kelompok II bekerumun
tidak memedulikan kelompok lainnya. Sebab kata Mas Gol A Gong, “Ketika kalian
di Bandara Changi, maka sebisa mungkin jangan berkumpul dalam lima kelompok.
Tetapi harus ikut dengan fasilitator dan pendamping yang menjadi koordinator
perjalanan agar semacam ini tidak dicurigai para petugas keamaan bandaran.
Karena khawatir ditegur atau tanyai macam-macam sehingga ketahuan kalau kalian
baru pertama kali ke Singapura.”
Wejangan itu membuat kami dan peserta
lainnya berusaha melakukan proses adapatasi tempat dengan cepat, meski ada juga
peserta lain pernah pergi keluar negeri memberitahukan teman-teman lainnya atau
mengikuti instruksi yang sudah diatur. Kami dan para peserta dari empat
kelompok lainnya masing-masing memasuki ruang pemeriksaan barang bawaan. Inilah
pintu pertama pemeriksaan menguji ketegangan teman-teman bahwa barang yang
dibawa lolos dari pemeriksaan sehingga bisa lanjut ke pintu berikutnya. Pada
pemeriksaan ini semua peserta #vokasimenulis penerbangan pertama lolos.
Aku berkumpul dengan kelompok II agar
tidak saling memisahkan diri. Aku mengamati di sekitar Bandara Changi. Suasana
nyaman dan tertata rapi membuat pengunjung seperti aku yang baru pertama kali ke
luar negeri (Singapura) merasa betah dan langsung mengabadikan momen suasana
tersebut dengan jepretan kamera ponsel. Aku ke toilet membuang ketegangan dan
beban dalam tubuh dengan buang air kecil. Kemudian aku mengisi botol plastik
sengaja dibawa dari rumah pemberian kekasih tercinta untuk diisi air mineral
yang tersedia di bandara.
Kata teman-teman relawan yang pernah ke
Singapura bahwa beli air mineral botol di negeri serumpun itu mahal, maka harus
bawa botol kosong agar diisi air di bandara. Ternyata pemberitahuan itu berguna
sehingga botol kosong yang aku bawa dari rumah bermanfaat fungsinya untuk
meredakan dahaga ini.
Setelah masing-masing kelompok berpencar
mengikuti koordinatornya, maka kami pun rileks untuk istirahat sejenak.
Meskipun pintu pemeriksaan yang ketat menanti, yakni pemeriksaan paspor. Kami
terus berjalan sambil mengobrol dan mengamati keindahan di Bandara Changi.
Berfoto di tempat-tempat yang tidak dilarang untuk mengabadikan momen sejarah
menginjakkan kaki di Bandara Changi. Setelah itu, kembali menyiapkan paspor dan
siap ditahan petugas imigrasi, apabila dimintai keterangan identitas terkait nama
kami terindikasi dalam nama-nama yang dilarang masuk atau dicurigai Negeri Singa
Putih.
Kami turun ke lantai dasar menuju pintu
imigrasi atau pintu pemeriksaan paspor. Tampak sekitar 5-6 jalur pengunjung
berbaris mengantre giliran dipanggil petugas. Dari lima kelompok peserta
#vokasimenulis, ada tiga peserta, satu fasilitator, dan satu pendamping yang
namanya terindikasi dalam daftar orang terlarang sehingga tertahan karena dimintai
keterangannya. Sementara kami dari kelompok II semuanya lolos pemeriksaan
paspor dan nama sehingga bisa melanjutkan perjalanan keluar dari Bandara
Changi.
Masih di Bandara Changi, tepatnya di
lobi. Kami beserta kelompok yang lolos pemeriksaan beristirahat sejenak di
kursi tunggu untuk menunggu peserta yang ditahan atau peserta belum keluar dari
pemeriksaan imigrasi. Dari setiap fasilitator mengoordinasikan anggotanya agar
menukarkan mata uang rupiah dengan mata uang dolar Singapura. Aku termasuk yang
menukarkan uang rupiah dengan dolar Singapura. Uang Rp400.000 hanya
mendapatkan uang 40 dolar Singapura,
sangat jomplang kurs mata uang kita dihargai di negeri ini, yakni 1 dolar
Singapura = Rp10.000. Betapa jauh kemajuan Singapura dari segi ekonomi sehingga
nilai uangnya pun lebih berharga dan mahal dibandingkan mata uang negeri kita.
Miris!
Sebelumnya para peserta sudah
mengantongi uang dolar Singapura sejumlah 50. Karena panitia memberikan uang
saku Rp800.000 dipecah menjadi bentuk 50 dolar dan Rp300.000 sebagai persiapan.
Setelah beristirahat, kami menuju lantai
paling bawah menuju skytrain atau
stasiun MRT (monorel rapid trans). Di skytrain
terdapat larangan meminum air mineral dan merokok. Meskipun ada saja peserta
yang melanggar di tempat itu namun tidak ada petugas jaga. Eh, jangan girang
dulu. Sebab di setiap sudut ruangan terpasang CCTV yang siap merekam aktivitas
kita. Setiap koordinator kelompok meminta kepada tiap peserta menyisihkan uang
30 dolar untuk membeli kartu ajaib atau kartu pas Singapura seharga 30 dolar.
Sedangkan peserta disuruh menunggu sejenak sebalum nanti berangkat naik MRT.
Setelah koordinator kelompok membeli
kartu pas Singapura, kami siap berangkat menjelajahi Singapura dengan
menggunakan MRT. Transportasi kereta supercepat ini adalah moda transportasi
paling murah di Negeri Singa. Termasuk juga dengan moda transportasi busnya.
Kalau kita berkunjung ke Singapura tidak perlu repot karena moda transportasi
ini mempermudah wisatawan atau pelancong dalam berwisata.
Kami naik MRT dari Stasiun Bandara
Changi menuju Stasiun Tanah Merah (di dalam peta transportasi jalurnya berwarna
hijau). Tidak menunggu lama. Kereta tersebut membawa kami menembus
lorong-lorong bawah tanah kemudian meliuk-liuk menampakkan diri di permukaan.
Setelah sampai Stasiun Tanah Merah, kami berganti MRT arah Stasiun Joo Koon
karena akan menuju destinasi pertama, yakni Patung Singa Putih atau Merlion
(ikon Singapura).
Selain itu, di dalam MRT
diupayakan menjaga sikap agar tidak gaduh. Sebab banyak warga Singapura,
terutama kaum wanita dengan penampilan baju dan celana ketat bahkan pendek
(seksi). Bagi lelaki harus jaga mata, sebab akan berseliweran para wanita
berpakaian minim mengundang syahwat. Meskipun tampak di depan mata, tapi kita
harus menahan diri. Jangan terlalu lama ditatap khawatir akan menimbulkan
kecurigaan sehingga bisa dilaporkan ke petugas keamanan.
Patung Singa
Satu
per satu stasiun MRT dilewati mulai dari Stasiun Tanah Merah, Bedok, Kembangan,
Eunos, Praya Lebar, Aljunied, Kallang, Lavender, Bugis, City Hall, dan berhenti
di Stasiun Raffles Place. Ketika sampai di Stasiun Raffles Place, kami keluar
dari stasiun menuju sebuah taman istirahat atau Raffles Place Garden yang diapit
gedung bertingkat. Kami duduk-duduk sejenak menikmati keramaian warga Singapura
yang juga menikmati taman kecil itu untuk beristirahat. Tidak lama setelah
berfoto-foto, kami kelompok II dan kelompok lainnya bersamaan akan menuju
Patung Merlion berjalan kaki menyusuri taman-taman di pinggir sungai hingga
tembus ke jalan menuju tempat destinasi pertama tersebut.
Kalau kita jalan-jalan ke Singapura
jangan memakai baju tebal, seperti memakai jaket atau abju rangkap lainnya karena
di Singapura bercuaca panas (tropis). Hal ini dipengaruhi juga luas wilayah
negara itu yang kecil atau hampir sama dengan Kota Jakarta. Selain itu, di
Singapura tidak berbukit dan tidak punya gunung, maka tidak heran cuacanya
panas. Negeri ini bisa dikatakan juga daratan pesisir. Sebab selain
infrastrukturnya bagus, juga dikelilingi banyak pelabuhan aktif yang
aktivitasnya padat dan sibuk.
Setelah menyusuri jalan di pinggir sungai.
Kami menyeberangi perempatan jalan karena Patung Merlion ada di seberang jalan.
Kami masih berjalan kaki di bawah terik matahari sore. Beberapa meter berjalan,
maka kami sampai di sebuah taman kecil, tempat Patung Singa itu berada. Bukan
hanya kami yang berada di sana, tapi ternyata sudah banyak orang berkerumun
mengabadikan momen perjalanannya di depan Patung Merlion. Aku tidak mau
ketinggalan mengabadikan momen perjalanan ini. Meskipun dengan peluh lelah
perjalanan setelah naik pesawat dan berjalan kaki. Semua itu harus dibuat
bahagia karena aku dan teman-teman selama tiga hari akan menjadi warga
Singapura.
Setelah lama menikmati Patung Merlion,
sekitar pukul 19.00 waktu setempat, kami bersama kelompok lainnya bersiap
menuju penginapan di Kampung Bugis atau Kampung Glam. Berjalan kaki lagi. Naik
MRT lagi. Kami tidak akan bosan.
Menginap di
Bugis
Setelah
menikmati destinasi Patung Merlion, kami sampai di Kampung Bugis (destinasi
kedua) untuk beristirahat. Perjalanan dari Patung Merlion menuju Kampung Bugis
masih menggunakan MRT. Sebelum menuju penginapan, terlebih dahulu aku dan teman-teman
makan malam di gerai kuliner sekitar Kampung Bugis. Aku memisahkan diri dari
kelompok II. Aku bersama Diofany, Giani Marisa, Ahmad Wayang, dan Brandon,
makan malam menu nasi briyani plus daging lembu dengan minuman teh tarik hangat
di Restaurant Victoria. Makan malam dengan menu ala India ini memang agak aneh
di perut aku dan teman-teman. Bentuk nasinya tidak seperti nasi di Tanah Air, apalagi
dengan porsinya yang banyak. Satu porsi makan malam itu cukup empat orang,
sementara Brandon hanya menikmati minuman air mineral botol.
Setelah perut kenyang, aku dan
teman-teman berpisah bergabung dengan kelompoknya masing-masing. Aku tidur di
Hostel ABC, sebuah penginapan tipe kelas melati sekamar dengan Khoirul Huda
dengan tempat tidur bertingkat. Sebelum tidur, aku mengunjungi kamar temanku,
Abdul Salam, Ade Ubaidil, dan Farid Supriadi. Berbincang-bincang sejenak dilanjutkan
dengan salat wajib yang dijamak di Masjid Sultan.
Masjid Sultan ini juga
salah satu ikon Singapura. Jika kita ke Negeri Singa Putih akan jarang bahkan
susah menemukan masjid. Tidak seperti di negeri kita. Di Singapura tata letak
kotanya rapi dan tempat ibadah tidak sembarang dibangun oleh masyarakat,
melainkan harus dibangun pemerintah/negara. Karena setiap kawasan (distrik)
dibangun masjid, kuil, kelenteng, dan gereja, tapi harus di kawasan tertentu. Karena
di pusat kota Singapura kita tidak akan menemukan tempat Tuhan itu.
Pengalaman luar biasa, ga sekedar dpt ilmu dan informasi malalui pelatihan2 tp juga dpt tmn2 baru plus jalan2 keliling singapura
BalasHapusWuihhh
Kereeeen
Wah asiknya jalan2 sambil belajar nulis dari mas Gola Gong di Singapura. Nanti kisahnya dibukukan ya?
BalasHapusSeru ya ...nggak cuma dapat ilmu, tapi dapat pengalaman juga.
BalasHapusAku blm pernah ke LN... Budget masih bnyk kepakai buat dana pendidikan anak2
Wah, senangnya bisa belajar sekalian jalan-jalan ke Singapura...ditunggu kelanjutan ceritanya..:)
BalasHapusSemoga sukses ya...
Wah asiknya ada vokasi menulis. Gimana sih itu caranya? Aku sudah pernah ke Singapura tapi dalam rangka tugas kantor sih sekitar 2 bulanan & waktu itu belum ngeblog maupun nulis, jadi nggak ada apapun yg bisa dibaca sekarang sbg pengingat.
BalasHapus