Recent posts

Sakit Kepala dan Buku

September 15, 2017 1 Comments

Gambar dari: shbarcelona.com

Tiba-tiba sakit kepala sebelah menyerangku. Kepala ini rasanya sakit dan keringat dingin keluar dari pori-pori kulit. Aku mual-mual. Tatapan mataku nanar berkuang-kunang melihat berjejer buku-buku terpajang di rak toko buku. Aku pusing. Tidak tahu, kenapa hal ini selalu terjadi pada saat berada di toko buku.
Hampir setiap Minggu siang dimulai sejak pukul 12.00 WIB. Aku mengunjungi toko buku yang letaknya berada di pusat Kota Serang dengan jarak 5 kilometeran dari rumahku. Entah kenapa rutinitas yang jarang aku lakukan ini seperti sudah menjadi panggilan jiwa. Biasanya, aku berkunjung ke toko buku hanya sekali dalam sebulan. Itu juga kalau lagi ada waktu dan niat. Namun, sudah beberapa bulan ini sering aku lakukan. Apakah karena aku sedang ketagihan membaca buku sehingga setiap kali melihat buku-buku baru berjejeran rasanya tidak ingin pulang. Selalu ingin memandangi dan membaca isinya meskipun tidak ada niat untuk membilnya. Itulah hobi baru yang sedang aku tekuni. Mungkin aku sedang terjerat virus buku atau memang sedang depresi karena terlalu banyak baca buku.  
Memang indah dan menyenangkan bila berada di toko buku. Apalagi berlama-lama menatap satu per satu buku-buku yang baru cetak. Rasanya dada ini bergolak tidak ada hentinya. Mengeja tiap judul buku dan membaca sekilas sinopsis ceritanya. Ada kecemburuan menyesak dada sehingga membangkitkan amarah untuk bersaing tak mau kalah dengan penulis-penulis yang namanya sudah terpajang di toko buku. Sebagai penulis pemula sekaligus pembaca pemula. Aku merasakan gejala-gejala tak menentu yang kadang mood menulis dan membaca datang dengan dahsyatnya. Kadang juga hilang seketika seperti musim kering tak bergairah.
Dengan berkunjung ke toko buku dan berlama-lama menikmati atmosfer di dalamnya membuat aku semakin termotivasi. Semoga gairah baru ini yang tak kunjung reda merasuki pori-pori hingga meresap ke seluruh sel darah merah dan bermuara di dalam dada menjelma menjadi semangat menulis dan membaca yang tak ada habisnya.
Aku berharap hal itu ada. Meskipun keterampilan menulis dan membaca bukan hal yang mudah dilakukan. Karena butuh kebiasaan diri dalam menempatkan waktu untuk bergelut dengan bahan bacaam. Menulis dan membaca bukan perkara mudah diucapkan bibir, melainkan perkara penting yang harus diperhatikan. Bagaimana kita bisa membiasakan diri larut di dalamnya tanpa harus terpengaruh dengan godaan-godaan lain. Dengan begitu, kebiasaan itu terjadi bukan karena sesuatu yang dipaksakan. Namun, karena sesuatu yang sudah mendarah daging dan menjadi naluri kebutuhan kita dalam menyantap menu intelektual.
Momen berada di toko buku selalu aku manfaatkan untuk menambah semangat berkarya sastra. Gejala-gejala sakit kepala yang aku alami disebabkan bukan persoalan antarteman atau pacar, tetapi karena memang ada rasa kecemburan intelektual membuncah di dalam diri ini. Hal ini penting dan bagus untuk keberlangsungan proses kreatif menulis dan proses meningkatkan keterbacaan diri. Berharap kelak atau suatu saat ketika berkunjung ke toko buku, kecemburuan itu tidak putus. Tetapi, ada hasil yang bisa dibanggakan seperti buku novel karya atau kumpulan cerpen (kumcer) karyaku terpajang di sana. Semoga saja.***

1 komentar:

Hari Terakhir di Singapura: Joging di Little India

September 12, 2017 2 Comments


Baca catatan sebelumnya: Hari Kedua di Singapura

Joging di Little India
Menikmati pagi di tanah pelancongan tidak akan puas, tapi bisa dilakukan berkali-kali. Masih pagi di Singapura, Kamis (2/6/2016), adalah hari terakhir praktik menulis dalam kegiatan Bimbingan Teknik Vokasi Menulis Bagi Peserta Didik. Pagi itu aku bangun lebih awal sehingga bisa salat subuh berjamaah di Masjid Sultan. Suasana baru terasa berkesan dalam perjalanan ini. Lelahnya, hiruk-pikuk di stasiun dan Cinatown, keunikan miniatur globe Universal Studio, hingga mulusnya infrastruktur jalan serta hak pejalan di trotoar yang dihargai. Semua seolah membekas dalam ingatan ini. Seolah merindu, tapi harus berpisah.
Setelah salat subuh, aku kembali ke kamar hostel, berbaring sambil berselancar di dunia maya memanfaatkan Wi-Fi hostel. Tak lama pesan di WA berbunyi. Mas Gong menawarkan siapa yang mau ikut jalan-jalan ke Little India. Aku langsung bergegas turun kamar hostel menuju beranda. Di sana sudah menunggu Mas Gong, Kang Qizink, Mang Ripin, Gita, Qisti, Eka, Thoir, dan Yehan. Kami pun berangkat ke Littel India.
Aku kira Littel India jauh dari kawasan Kampung Bugis, tapi ternyata hanya berjarak beberapa ratus meter. Ah, kalau begitu ini joging pagi yang menyenangkan. Selama perjalanan, Mas Gong memandu kami tentang beberapa informasi yang belum diketahui. Karena Mas Gong sudah sering bolak-balik Singapura.
“Kalau kalian berani atau mau ke Malaysia. Kalian bisa naik bus di terminal ini,” kata Mas Gong sambil menunjuk terminal yang tidak jauh dari Kampung Bugis atau hanya beberapa puluh meter di seberang jalan.
“Tiketnya sekitar 60-70 dolar. Bus ini sampai ke perbatasan Malaysia. Biasanya pada akhir pekan, banyak TKW mengantre di terminal itu. Ironis memang. Karena ada beberapa TKW dari negeri kita sama sekali belum pernah jalan-jalan di sekitar lingkungan mereka bekerja sehingga ketika keluar kebingungan.”
Kami hanya mengangguk, mengerutkan kening, memandang kosong, dan mengabadikan tempat itu dengan kamera. Ikut merasakan derita yang dialami saudara kita, para TKW.
“Bagusnya di Singapura, selain infrastruktur jalan saluran airnya diperbaiki sehingga kalau hujan tidak kebanjiran. Juga etnis-etnis di sini dibikin kawasan sehingga tidak terlihat aacak-acakkan. Etnis Melayu dibuat kawasan, etnis India, dan juga etnis China. Maka Singapura terlihat bagus dan rapi. Meskipun kalau dilihat lebih dekat pasti ada celahnya,” ujar Mas Gong begitu pengalaman menjadi pemandu hingga bisa menilai bahkan memetakan apa yang ada di Negeri Singa Putih.


Aku juga punya penilaian sendiri dari pengamatan-pengamatan selama tiga hari di Singapura bahwa etnis India selain berjualan, juga ditempatkan bekerja di bagian konstruksi atau bangunan. Karena hampir setiap kali aku temui para petukang bangunan sebagian dari etnis India/Banglades. Sementara untuk etnis China selain ada yang berjualan, juga kebanyakan di bagian perkantoran. Kemudian etnis Melayu juga begitu. Aku merasa ada tingkatan pekerjaan yang memang menjadi pilihan dari warga Singapura.
Setelah dari Littel India, kami berpencar. Aku, Kang Qizink, dan Gita memilih pulang untuk sarapan di kawasan hostel, juga dengan Mang Ripin dan Tohir yang memilih mencari objek foto. Sementara Mas Gong, Qisti, Eka, dan Yehan memilih di Littel India untuk sarapan. Selama hampir tiga hari dua malam, aku akhirnya menemukan menu makanan Tanah Air. Aku baru tahu ternyata di sekitar kawasan Kampung Bugis ada warung Indonesia atau pemiliknya orang Indonesia. Aku makan sarapan dengan lahap didampingi Kang Qizink dan Gita.

Pulang
Setiap pejalan pasti merindukan rumah. Setiap keberangkatan pasti ada kepulangan. Kami para peserta #vokasimenulis merindukan pulang ke Tanah Air meluruhkan rindu dan tawa ceria dari cerita perjalanan yang menggembirakan.
Pada hari petama, Selasa (31/5/2016), kami datang dari Tanah Air sebagai pelancong langsung menikmati keriuhan monumen dari ikon Singapura, Merlion, hingga berlanjut ke penginapan di Kampung Bugis. Selain itu, menikmati hiruk-pikuk perjalanan dengan MRT dan bus yang serbacepat serta mudah hanya dengan kartu pas Singapura.
Pada hari kedua, Rabu (1/6/2016), kami menikmati pagi di Kampung Bugis dengan bersujud syukur di lantai Masjid Sultan hingga menyusuri gang-gang di Kampung Glam sambil menikmati sarapan pagi. Kemudian mampir di Malaya Heritage melihat berkas-berkas sejarah dengan berkumpul sambil berdiskusi menuangkan ide untuk sebuah judul buku yang akan ditulis dari perjalanan tiga hari ini. Selain itu, menjadi kutu buku di Perpustakaan Singapura yang menyimpan 200.000 judul buku dengan fasilitas memadai hingga membuat setiap pengunjung nyaman membaca. Selanjutnya mampir di Clement menikmati makan siang atau berwisata kuliner. Menyusuri jalan-jalan bereskalator di Sentosa Express sambil berpose ria di depan miniatur globe, Universal Studio. Kembali meregangkan segala urat kaki dan badan yang lelah di hostel murah kemudian beraksi kembali di keramaian malam di Cinatown untuk berbelanja oleh-oleh.
Pada hari ketiga, Kamis (2/6/2016), kami masih menikmati pagi di Singapura dengan berjoging di kawasan Littel India yang eksotik. Berkumpul kembali di hostel menyiapkan barang bawaan untuk bersiap pulang ke Tanah Air bersama 10 kelompok lainnya. Sebelum pulang, sebagian kelompok ada yang berkunjung kembali ke Merlion dan ada juga ke Clarke Quay untuk bergaya di monumen Love. Kami dari kelompok II AA Navis memilih ke Clarke Quay karena tempat itu belum dikunjungi.



Menuju Clarke Quay, kami menggunakan bus. Kami tidak ingin berlama-lama karena mendapatkan jatah tiket penerbangan pertama sekitar pukul 16.00. Karena itu, menuju Clarke Quay juga agar setelah dari situ langsung menuju Bandara Changi bersiap pulang. Perjalanan selain menggunakan bus, juga berjalan kaki beberapa ratus meter. Lelah berjalan. Namun, sesampainya di Clarke Quay, pemandangan sungai nan indah membuat lelah itu terbayar. Beberapa teman ada yang bergaya di monumen Love dan juga aku. Selain itu, mengabadikan grafiti menarik di lorong masih di kawasan Clarke Quay. Setelah puas dan lelah pun reda, kami berangkat ke Bandara Changi, Singapura, menggunakan MRT dari Stasiun Clarke Quay sampai harus berganti MRT di setiap stasiun Tanah Merah yang membawa kami ke bandara.
Di Bandara Changi tak ada kecanggungan apalagi takut ditahan petugas. Semua pengalaman kedatangan saat pertama kali tiba di bandara itu telah kami atasi dengan baik. Kelompok II AA Navis dikatakan jauh dari persoalan pelik menjerat tiap anggotanya sehingga kekompakan masih terjalin. Berupaya saling mengingatkan agar tidak mementingkan ego pribadi dalam perjalanan kali ini. Sebab kami datang berkelompok, maka pulang pun harus berkelompok. Harus kerja sama.
Meskipun pesawat yang akan membawa kami ke Tanah Air mengalami keterlambatan dua jam, tetapi semua itu tidak membuat kami patah semangat. Sebab setelah pulang nanti di Tanah Air masih ada misi lagi harus dituntaskan, yakni menuliskan catatan perjalanan selama tiga hari di Singapura. Sesampainya di Tanah Air atau tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten, sekitat pukul 21.00 WIB, wajah lelah kami berucap syukur, Alhamdulillah. Karena telah sampai di tanah kelahiran.

2 komentar:

Hari Kedua di Singapura

September 10, 2017 2 Comments


Menikmati Pagi di Singapura
Rabu pagi (1/6/2016), aku terbangun sekitar pukul 04.00 waktu setempat, padahal semalam baru bisa tidur pukul 01.00. Waktu salat subuh masih satu jam setengah. Biasa di negeri sendiri kalau subuh sekitar pukul 04.30 WIB, maka ketika menginap di Singapura jadwalnya berbeda, yakni beda satu jam (pukul 05.30). Karena itu, aku mencoba tidur kembali. Tapi, ponsel aku bergetar karena ada pesan masuk di grup Whatsapp. Sudah pada bangun belum. Yuk, tahajudan ke masjid (dari Rahmat Heldy). Kemudian dibalas Farid, yuk qiamulail. Tahajud. Mumpung belum subuh. Aku hanya melotot sejenak dan tidur kembali hingga pukul setengah enam terbangun untuk salat subuh.
Hal paling menarik dalam setiap perjalanan adalah ketika menikmati pagi di tempat yang baru kita kunjungi. Aku bergegas mengganti baju keluar hostel menikmati pagi. Aku ajak Farid yang juga sudah siap menjelajahi Kampung Glam atau Bugis. Aku susuri jalan-jalan Kampung Glam bersama Farid, eh tapi ternyata sudah ada Aeny, Diofany, Ahmad Wayang, dan Via di sana. Aku nikmati kesunyian Kampung Glam. Apalagi setiap bangunan berupa gerai kuliner di tembok-temboknya terlukis gambar grafiti menarik. Aku abadikan dalam kamera ponsel.



Setelah puas menikmati pagi di Kampung Glam, aku dan teman-teman bergegas balik ke hostel untuk mandi. Sekitar pukul 08.00, aku menuju Restaurant Victoria bersama Giani, Diofany, dan Eka Nurul. Memesan menu sarapan pagi, tapi bukan nasi. Padahal kami ingin makan sarapan nasi namun yang ada hanya martabak telur. Karena perut lapar, maka dipesanlah menu sarapan tersebut.
“Mom, I want to order rice,” kata Giani.
“Oh, no rice. There is martubruk,” kata ibu pelayan.
Kami berempat meletot heran. Dalam hati, ya tidak ada nasi. Padahal pengen nasi uduk atau nasi goreng. hehehe
“Wah, nggak ada nasi ya. Bagaimana?” tanya aku pada teman-teman.
“Ya sudahlah. Nggak apa-apa,” kata Dio diikuti Eka.
Kami pesan martabak telur, dua teh hangat, satu botol air mineral, dan aku pesan es teh tarik. Kami berempat makan dengan lahap sarapan itu. seperti orang yang belum makan berhari-hari. Setelah makanan habis, kami membayar dengan total 15 dolar Singapura. Murah untuk ukuran di Singapura, tapi mahal bagi kita orang Indonesia. Karena 1 dolar = Rp10.000. Jika 15 dolar = Rp150.000. Mahal banget, tapi tidak apa-apa. Mumpung dibiayai negara untuk menikmati menjadi warga Singapura sementara.
Rabu pagi itu rencananya akan ke Singapura Library, tapi sebelumnya tiap kelompok ada briefing dengan Mas Gol A Gong di Malaya Heritage membicarakan persiapan menulis catatan perjalanan yang bakal jadi buku dimulai dengan konsep judul. Setelah per kelompok selesai briefing dengan Mas Gong, maka dipersilakan menuju Perpustakaan Singapura. Kami kelompok II langsung berangkat menuju ke sana naik Bus Transingapura. Kartu ajaib Singapura harus dibawa karena itu memudahkan kami mengakses transportasi di Singapura, terutama moda transportasi MRT dan bus.


Ngobrol Bareng Muhzaini
Perjalanan dari Kampung Bugis menuju Perpustakaan Singapura tidak berlangsung lama sekitar lima belas menit. Kami kelompok II memasuki gedung dengan tulisan National Library Building. Aku terkagum-kagum melihat Perpustakaan Singapura berlantai delapan tersebut. Di lobi depan gedung itu sudah memikat pengunjung untuk masuk. Aku dan teman-teman merasa bahagia berada di gedung penuh buku itu.
“Nanti di Perpustakaan Singapura jangan berisik ya. Boleh kok foto-foto, tapi jangan beramai-ramai,” kata Mas Gol A Gong sebelum kami peserta #vokasimenulis berangkat ke Singapura dan diulang lagi saat di Malaya Heritage.
Namun, tetap ada teman-teman peserta #vokasimenulis yang berisik sehingga harus diingatkan. Aku berpisah dari kelompok II menyusuri lantai tiap lantai serta ruangan di sana bersama Yehan. Di lantai berikutnya, aku terpisah sendiri sebelum akhirnya bertemu Hilman Sutedja. Aku dan Hilman mengunjungi ruang perpustakaan dewasa. Tampak beberapa pengunjung khusyuk membaca buku dan berakses internet.
Kemudian aku dan Hilman naik terus hingga ke lantai paling atas masih ditemukan ruang perpustakaan dewasa, tapi kami sempat berbincang dengan petugas keamanan perpustakaan di sana.
“Mr, maybe came in this room?”
“Oh, oke. Please...”
Setelah diperiksa kami langsung masuk ruang perpustakaan melihat-lihat koleksi buku yang tertata rapi. Tidak lama kami pun keluar lagi. Kemudian kami bertemu kembali dengan petugas itu. Hilman menanyakan identitas petugas jaga tersebut.
“Mr, can you speak english or melayu?”
“Oh, dari Indonesia ya,” kata petugas itu dengan aksen melayunya.
“Iya, Pakci,” ujar Hilman.
“Oke, periksa dulu ya.”
Aku dan Hilman diperiksa lagi.
“Nama Pakci siapa?”
“Oh, name saye Muhzaini. Kalian buat ape ke Singapore?”
“Saya Hilman, dari Banteng juga mahasiswa Unpad, Bandung.”
“Saya Deden atau Muhzen.”
Aku dan Hilman saling memperkenal diri kepada Pak Muhzaini.
“Kalian sedang ape di sini?”
“Kami sedang studi banding atau liburan,” kata Hilman.
“Iya, Pak. Kami sedang liburan,” ujarku.
Kemudian Pak Muhzaini mengerutkan kening dengan tatapan mata meneliti.
“Buat ape liburan ke Singapore. Di sini baiknye belajar dan bekerja. Orang-orang sini tak ada yang malas. Tidak di negeri kalian. Dulu awak pernah ke Indonesia bersua teman di sana. Tapi, aduh...”
Aku dan Hilman hanya nyengir sambil bertanya.
“Ada apa Pakci?”
“Indonesia itu kaya. Sumber daya alam banyak. Tapi sayang, orangnya malas. Banyak korupsi. Di sini itu jalur transportasi teratur, tapi di Jakarta. Aduh, itu macam balapan. Banyak pelanggaran.”
Aku dan Hilman tertawa sambil mengangguk-ngangguk menyetujui apa yang dikatakan Pak Muhzaini.
“Maka itu, kami datang kesini, Pakci. Mau belajar,” kata Hilman.
“Iya, Pakci. Kami harus bagaimana supaya seperti Singapore,” tambahku.
“Singapore itu kecil. Tak ada kekayaan alamnya, tapi orang-orang di sini disiplin dan bekerja keras. Pemerintah memberi aturan tegas dan menyediakan pekerjaan,” ujar Pak Muhzaini.
“Iya, itu Pakci. Kenapa orang jompo di sini masih tetap kerja. Beda dengan di negeri kami, kebanyakan anak muda kerja begitu.”
“Oh, di sini memang harus kerja. Bagian itu diserahkan ke orang jompo. Tapi anak muda punya pekerjaan lebih tinggi dari itu. Semacam berniaga atau kerja kantor. Kalian harus banyak belajar dan bekerja supaya seperti Singapore. Itu saja,” kata Pak Muhzaini mengakhiri obrolan kami.
Selain itu, di Singapura ada larangan merokok di area publik. Karena itu, setiap mau merokok atau perokok di sana tidak bebas seperti di Tanag Air. Di Singapura bagi perokok itu tempatnya dihinakan atau nista, yakni harus merokok di depan tempat sampat/tong sampah. Tidak bisa merokok di tempat-tempat umum. Karena bisa kena denda 2000 dolar setara dengan Rp20.000.000.
 Aku dan Hilman pun berpamitan dan menuju lantai paling bawah, yakni ke perpustakaan umum dan anak. Di perpustakaan ini kami bertemu teman-teman dari kelompok lainnya. Saling mengobrol dan bercanda, tapi tidak gaduh. Tempatnya nyaman dan bikin betah.
Aku menghampiri Arip dan Umi Aam yang sedang mengobrol dengan kepala perpustakaan bernama Viola. Arip tampak asyik mengobrol menanyakan tentang koleksi buku, cara menjadi anggota, hingga berapa banyak pengunjung yang datang dengan menggunakan bahasa Inggris. Aku hanya menyimak tidak ikut mengobrol karena apa yang dibicarakan sudah pahami meskipun sebenarnya pemahaman bahasa asingku tidak begitu baik.




Kemudian aku berkeliling menyusuri rak-rak perpustakaan melihat-lihat koleksi buku bersama teman-teman. Ada satu rak berisi koleksi sastra melayu dan buku karya Mas Gol A Gong berjudul Balada Si Roy ada di sana. Selain itu, aku memasuki perpustakaan anak. Konsep dekorasinya benar-benar khusus anak-anak. Aku sebagai orang dewasa betah, apalagi anak-anak. Tampak ada perosotan bermain, meja kecil, dan lainnya.
Aku membayangkan andai konsep seperti ini berada di perpustakaan yang ada di tanah air. Pasti banyak anak betah berada di perpustakaan sehingga semakin semangat membaca buku. Bukan sebaliknya, perpustakaan sunyi dan angker. Ditambah pustakawannya jutek. Huuh, semoga perkembangan perpustakaan di tanah air semakin baik. Pustakawannya juga kece-kece dan ramah.
Selepas dari perpustakaan, aku keluar dan bertemu Kang Firman, Kang Atif, Ibu Kiswanti, dan Kang Qizink. Kami mengobrol-ngobrol di depan perpustakaan. Hujan turun perlahan di sana, tapi tidak menyurutkan semangat kami melakukan perjalanan berikutnya.
Eh, iya. Di Perpustakaan Singapura ternyata bertepatan dengan acara Festival Membaca. Hal itu terlihat dari iklan reklame dan spanduk di depan perpustakaan itu.
“Weeeh, ternyata di sini juga ada festival, tapi festival membaca,” kata Kang Firman Venayaksa girang.
“Re, memang seharusnya begitu, festival membaca sehingga lebih spesifik,” timpal Kang Atif.
“Iya, sih. Tapi nggak apa-apa. Yang penting Forum TBM sudah melaksanakan bahkan jadi gerakan dengan awalnya Festival TBM menjadi Gerakan Indonesia Membaca,” ujar Kang Firman.
“Iya, Den. Coba kamu masuk lagi minta buklet informasinya. Siapa tahu bisa kita adopsi,” ujar Kang Atif.
Aku masuk di lobi informasi perpustakaan mengambil buklet acara tersebut. Kedua aktivis literasi ini bahagia bercampur girang seperti anak-anak menemukan mainan baru. Aku juga ikut bahagia melihat mereka berdua.
Tidak lama teman-teman dari kelompok II sudah berkumpun dan siap menuju destinasi berikutnya, yakni Clement. Arip sudah membawa teman-teman keluar perpustakaan. Sementara aku dan Kang Qizink sedari tadi sudah di luar menunggu mereka. Kami berangkat menaiki bus bersama kelompok V menuju Clement.





Takkan Lelah Berjalan
Perjalanan menuju Clement memakan waktu setengah jam lebih. Aku dan teman-teman duduk di bangku bus lantai dua. Tampak pemandangan pusat kota Singapura begitu jelas dari tempat duduk itu. Kami saling bercanda dan bertukar informasi tentang Singapura dengan para fasilitator dan pendamping. Membayangkan bahwa kami sedang menjelajahi miniaturnya kota-kota di Eropa. Karena infrastruktur jalan dan tata letak kota yang rapi membuat kami nyaman. Apalagi menikmati moda transportasi serbacepat, tanpa macet tidak seperti di Kota Jakarta.
Aku kira Clement sebuah tempat wisata air atau bukit, tapi setelah sampai sana ternyata  bukan. Clement adalah sebuah terminal bus tetapi dilengkapi dengan pusat jajanan kuliner dan pasar rakyat. Karena itu, tampak ramai para pengunjung di sana sehingga meskipun terminal bus, tetapi penunjung bisa santai berbelanja. Konsep seperti ini ternyata menghasilkan memikat pengunjung sehingga pasar rakyat jadi ramai.
Aku dan teman-teman peserta #vokasimenulis beristirahat sejenak mengisi perus yang lapar, yakni makan siang. Jarum jam menunjukkan sekitar pukul 14.00 waktu setempat. Kami berbaur mencari meja makan menikmati kuliner di Clement. Terlihat dua blok, yakni gerai kuliner muslim dan gerai kuliner etnis China. Kami memilih makan di gerai kuliner muslim. Aku pesan gado-gado seharga 3 dolar. Meskipun kami jauh dari Tanah Air, tetapi naluri mencari kuliner khas tanah kelahiran tidak pernah lupa. Karena itu, dibeli menu kuliner yang tidak aneh tapi masih bisa ditemukan di tanah air. Ya, perut kami belum terbiasa dengan masakan ala luar negeri. Beruntungnya di Singapura masih satu rumpun melayu sehingga masakan Tanah Air mudah ditemukan.
Perut kenyang dan istirahat pun sudah, kami langsung menuju Stasiun Buona Vista. Di Clement, selain ada terminal bus juga terintegrasi dengan stasiun MRT. Kami naik MRT di Stasiun Buona Vista menuju ke destinasi berikutnya, Sentosa Express. Perjalanan menuju Sentosa Express melewati tujuh stasiun MRT dengan perhentian di Stasiun Harbourfront. Dari Stasiun Harbourfront, kami naik turun tangga eskalator hingga keluar menuju Sentosa Express. Karena di sana, katanya akan ada ikon Singapura berikutnya, yakni bola bumi dengan tulisan Universal Studio.




Menuju ke Universal Studio setelah keluar dari Stasiun Harbourfront harus berjalan kaki ke kawasan Sentosa Express. Aku agak aneh dengan penamaan Sentosa. Aku kira dulu nama tokoh Sentosa ini terkenal atau meleganda sehingga diabadikan dalam sebuah kawasan wisata air dan permainan. Sepanjang perjalanan tak lelah kami melangkah. Sebab infrastruktur jalannya mendukung. Ada eskalator sepanjang 200 meter saling sambung menyambung. Selain itu agar tidak kehujanan dipasang kanopi sehingga pengunjung wisata nyaman dan terhindar hujan.
  Suasana saat itu sedang gerimis, tapi tidak menyurutkan langkah kami peserta #vokasimenulis menjelajah tempat-tempat di Singapura. Sesampainya di depan Universal Studio, rasa pegal kaki yang terus berjalan terbayar. Karena di sana juga bertemu teman-teman dari kelompok lainnya. Karena itu, kesempatan mengabadikan momen tersebut tidak boleh luput. Kami berfoto ria antarsesama peserta dengan beberapa kelompok.
Setelah puas, kami beranjak lagi. Awalnya akan langsung ke Cinatown, tetapi kelompok II memilih beristirahat sejenak pulang menuju hostel. Karena kunjungan ke Cinatown akan dilakukan setelah isya atau malam. Meskipun sebagian kelompok lain ada juga yang menuju tempat lain.
“Ya sudah, kita pulang dulu ke hostel. Nanti sekitar pukul 7, kita berbelanja ke Cinatown,” ujar Arip selaku pendamping kelompok II AA Navis.
Usulan itu disetuju karena dari kami, terutama Emak Aan yang lansia, merasa kelelahan setelah berjalan naik-turun eskalator, pindah dari stasiun satu ke stasiun lain.
“Ayo, kita pulang,” kata Kang Qizink memberi semangat.
Kami pulang menuju hostel di Kampung Bugis menggunakan moda transportasi MRT.


Wisata Belanja, Tapi Nyasar
Lelah berjalan sepanjang pagi hingga sore terbayar dengan berbaring di kasur hostel. Setelah itu, aku bersih-untuk bersih mandi dan salat magrib dilanjutkan salat isya. Sekitar pukul 7 malam, ketua kelompok dan pendamping sudah memberitahukan akan siapa saja yang mau ikut. Sebab akan segera berbelanja ke Cinatown karena beberapa anggota sudah pada kumpul. Aku belum siap karena sedang berkunjung ke kamar Abdul Salam dan Ade Ubaidil. Berbincang-bincang. Aku pun mengirimkan pesan via Whatsapp bahwa aku dan Khoirul Huda tidak ikut kesana bersama kelompok II, tapi akan menyusul dengan kelompok V.
Aku berbincang-bincang di kamar Abdul Salam dan Ade hingga waktu menunjukkan pukul 8 malam lewat. Sementara anggota kelompok V sudah pada ingin berbelanja kesana. Akhirnya setelah saling menunggu kelompok V yang belum siap. Ketua kelompok V, Salam, membawa kami ke tempat berbelanja itu menggunakan transporatasi bus.
Cinatown memang tempatnya berbelanja. Kawasan ini sengaja dibuat untuk menggiring para pengunjung atau wisatawan yang ingin berbelanja oleh-oleh khas Singapura. Aku dan teman-teman kelompok V berpencar setelah sampai Cinatown. Tampak keramaian orang berbelanja berjubel. Aku hanya ikut mengiringi mereka yang berbelanja. Aku tidak beli apa-apa di sana. Sayang, uangnya untuk ditabung. Hehehe, tapi bukan itu. Aku tidak terbiasa berbelanja barang-barang buah tangan. Kadang aku selalu bingung harus memilah-milih barang yang mau dibeli. Memang murah barang-barang di sana, tapi tidak beda jauh kok dengan di Tanah Air. Kualitasnya hampir sama, bahkan barang-barang seperti itu bisa ditemukan di kawasan Monas Jakarta.
Sekitar pukul 10.30 malam, aku dan Abdul Salam menunggu di pinggir jalan sekitar Cinatown. Beberapa toko mulai tutup. Kami menunggu peserta kelompok V yang masih berbelanja. Lelah mulai menggelayuti mata ini. Aku dan Salam berbincang-bincang tentang barang belanjaan.
“Weeeh, Kang. Benar ini nggak beli apa-apa?”
”Aduh, gimana ya. Aku nggak minat sih. Barangnya kualitas di bawah standar.”
“Ya, nggak apa-apa. Aku mah yang penting beli. Ini permintaan teman-teman. Sudahlah, biar meskipun nggak bagus,” ujar Salam. Sementara beberapa peserta yang ditunggu mulai berdatangan. Kami pun pulang. Kali ini naik MRT di Stasiun Cinatown karena moda transportasi bus sudah nggak ada.
Lagi-lagi naik-turun eskalator. Kemudian naik MRT dan turun di Stasiun Bugis. Namun, ada yang lupa ternyata kami salah jalur ketika akan keluar stasiun. Dengan begitu, saat keluar stasiun malam semakin gelap. Karena biasanya saat pulang ke Kampung Bugis tidak gelap, tapi kali ini kami kehilangan jejak. Karena itu, sepanjang mencari jalan menuju Kampung Bugis tidak ketemu. Beberapa kali bertanya, tapi tetap masih belum ketemu. Akhirnya, bukan kami saja yang tersasar, tetapi dari kelompok lain juga sama. Maka bergabunglah kami mencari jalan pulang setelah putar-putar sampai kaki pegal-pegal. Setelah bertanya sekian kalinya, bertemulah jalur menuju hostel dan kami sampai ke Kampung Bugis untuk istirahat karena besok hari terakhir persiapan pulang.

2 komentar:

Tiga Hari Menjadi Warga Singapura

September 09, 2017 5 Comments

Peserta Vokasi Menulis saat foto bersama sebelum berangkat ke Singapura (FotoDok/Muhzen) 
Dalam kegiatan Bimbingan Teknis Vokasi Menulis Bagi Peserta Didik: Program Pendidikan Kesetaraan dan Pendidikan Keberlanjutan yang diselenggarakan pada 28 Mei hingga 2 Juni 2016, panitia pelaksana kegiatan TBM Rumah Dunia dan Komunitas Masyarakat Belajar bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), aku tergabung di kelompok II (AA Navis) yang diketuai/fasilitator Qizink La Aziva dan pendamping Muhammad Arip Baehaqi. Peserta lainnya dalam kelompok ini selain aku, yakni Emak Aan, Umi Aam, Pak Rohim, Rohim Gumelar, Naufalia Qisti, Khoirul Huda, Gita Rizki Hastari, dan Yehan Minara.
Kelompok kami perpaduan antara kaum muda dan tua. Sebab anggota paling tua Emak Aan dan paling muda Naufalia Qisti. Karena itu, aku dan teman-teman bisa saling menahan diri untuk tidak terjadi konflik serta saling mengingatkan akan pentingnya sebuah kerja sama tim. Kelompok kami bukan tidak ada masalah. Masalah pasti ada, tetapi hal tersebut sebisa mungkin di kelompok diminimalisasikan agar tidak berlarut-larut. Karena fasilitator atau pendamping sudah menjelaskan dan mengimbau agar saling bekerja sama antaranggota. Karena perjalanan selama tiga hari di Singapura akan mengajarkan banyak hal, di antaranya tentang kedisiplinan, keteraturan, dan ketaatan, sehingga harus saling mengingatkan satu sama lainnya agar tetap solid serta kompak.


Debarkasi Changi
Pukul 14.00 waktu Singapura, kami kelompok II beserta empat kelompok lainnya yang melakukan penerbangan pertama mendarat dengan selamat di Bandara Changi, Singapura. Tampak wajah-wajah lelah dan tegang tergambar jelas di antara peserta/anggota kelompok. Aku berusaha tenang menginjakkan kaki di bandara ini, juga teman-teman kelompok II. Berusaha rileks dan tidak dijadikan beban. Teori-teori yang dijelaskan saat materi selama tiga hari di Rumah Dunia harus diimplementasikan dalam bentuk perilaku nyata. Sebab teori tanpa praktik akan sia-sia sehingga lenyap dalam penyesalan.
Padahal sebelumnya ketika masih di pesawat saat penerbangan menuju ke Bandara Changi, kami dan teman-teman kelompok lain tidak setegang saat di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Paling juga ketegangan saat pesawat take off (terbang) karena terjadi perubahan gaya gravitasi sehingga ada tekanan dalam organ tubuh kita yang terangkat ke atas. Namun, saat di bandara para peserta kelompok penerbangan pertama tampak menunjukkan kecemasan dan ketakutan akan ketatnya peraturan yang diterapkan di Bandara Changi.
Karena dari lima kelompok tersebut ketika di Bandara Changi harus berusaha adapatasi dan pura-pura tidak saling mengenal dengan kelompok lainnya. Aku dan teman-teman kelompok II bekerumun tidak memedulikan kelompok lainnya. Sebab kata Mas Gol A Gong, “Ketika kalian di Bandara Changi, maka sebisa mungkin jangan berkumpul dalam lima kelompok. Tetapi harus ikut dengan fasilitator dan pendamping yang menjadi koordinator perjalanan agar semacam ini tidak dicurigai para petugas keamaan bandaran. Karena khawatir ditegur atau tanyai macam-macam sehingga ketahuan kalau kalian baru pertama kali ke Singapura.”
Wejangan itu membuat kami dan peserta lainnya berusaha melakukan proses adapatasi tempat dengan cepat, meski ada juga peserta lain pernah pergi keluar negeri memberitahukan teman-teman lainnya atau mengikuti instruksi yang sudah diatur. Kami dan para peserta dari empat kelompok lainnya masing-masing memasuki ruang pemeriksaan barang bawaan. Inilah pintu pertama pemeriksaan menguji ketegangan teman-teman bahwa barang yang dibawa lolos dari pemeriksaan sehingga bisa lanjut ke pintu berikutnya. Pada pemeriksaan ini semua peserta #vokasimenulis penerbangan pertama lolos. 
Aku berkumpul dengan kelompok II agar tidak saling memisahkan diri. Aku mengamati di sekitar Bandara Changi. Suasana nyaman dan tertata rapi membuat pengunjung seperti aku yang baru pertama kali ke luar negeri (Singapura) merasa betah dan langsung mengabadikan momen suasana tersebut dengan jepretan kamera ponsel. Aku ke toilet membuang ketegangan dan beban dalam tubuh dengan buang air kecil. Kemudian aku mengisi botol plastik sengaja dibawa dari rumah pemberian kekasih tercinta untuk diisi air mineral yang tersedia di bandara.


Kata teman-teman relawan yang pernah ke Singapura bahwa beli air mineral botol di negeri serumpun itu mahal, maka harus bawa botol kosong agar diisi air di bandara. Ternyata pemberitahuan itu berguna sehingga botol kosong yang aku bawa dari rumah bermanfaat fungsinya untuk meredakan dahaga ini.
Setelah masing-masing kelompok berpencar mengikuti koordinatornya, maka kami pun rileks untuk istirahat sejenak. Meskipun pintu pemeriksaan yang ketat menanti, yakni pemeriksaan paspor. Kami terus berjalan sambil mengobrol dan mengamati keindahan di Bandara Changi. Berfoto di tempat-tempat yang tidak dilarang untuk mengabadikan momen sejarah menginjakkan kaki di Bandara Changi. Setelah itu, kembali menyiapkan paspor dan siap ditahan petugas imigrasi, apabila dimintai keterangan identitas terkait nama kami terindikasi dalam nama-nama yang dilarang masuk atau dicurigai Negeri Singa Putih.
Kami turun ke lantai dasar menuju pintu imigrasi atau pintu pemeriksaan paspor. Tampak sekitar 5­­-6 jalur pengunjung berbaris mengantre giliran dipanggil petugas. Dari lima kelompok peserta #vokasimenulis, ada tiga peserta, satu fasilitator, dan satu pendamping yang namanya terindikasi dalam daftar orang terlarang sehingga tertahan karena dimintai keterangannya. Sementara kami dari kelompok II semuanya lolos pemeriksaan paspor dan nama sehingga bisa melanjutkan perjalanan keluar dari Bandara Changi.
Masih di Bandara Changi, tepatnya di lobi. Kami beserta kelompok yang lolos pemeriksaan beristirahat sejenak di kursi tunggu untuk menunggu peserta yang ditahan atau peserta belum keluar dari pemeriksaan imigrasi. Dari setiap fasilitator mengoordinasikan anggotanya agar menukarkan mata uang rupiah dengan mata uang dolar Singapura. Aku termasuk yang menukarkan uang rupiah dengan dolar Singapura. Uang Rp400.000 hanya mendapatkan  uang 40 dolar Singapura, sangat jomplang kurs mata uang kita dihargai di negeri ini, yakni 1 dolar Singapura = Rp10.000. Betapa jauh kemajuan Singapura dari segi ekonomi sehingga nilai uangnya pun lebih berharga dan mahal dibandingkan mata uang negeri kita. Miris!
Sebelumnya para peserta sudah mengantongi uang dolar Singapura sejumlah 50. Karena panitia memberikan uang saku Rp800.000 dipecah menjadi bentuk 50 dolar dan Rp300.000 sebagai persiapan. 
Setelah beristirahat, kami menuju lantai paling bawah menuju skytrain atau stasiun MRT (monorel rapid trans). Di skytrain terdapat larangan meminum air mineral dan merokok. Meskipun ada saja peserta yang melanggar di tempat itu namun tidak ada petugas jaga. Eh, jangan girang dulu. Sebab di setiap sudut ruangan terpasang CCTV yang siap merekam aktivitas kita. Setiap koordinator kelompok meminta kepada tiap peserta menyisihkan uang 30 dolar untuk membeli kartu ajaib atau kartu pas Singapura seharga 30 dolar. Sedangkan peserta disuruh menunggu sejenak sebalum nanti berangkat naik MRT. 


Setelah koordinator kelompok membeli kartu pas Singapura, kami siap berangkat menjelajahi Singapura dengan menggunakan MRT. Transportasi kereta supercepat ini adalah moda transportasi paling murah di Negeri Singa. Termasuk juga dengan moda transportasi busnya. Kalau kita berkunjung ke Singapura tidak perlu repot karena moda transportasi ini mempermudah wisatawan atau pelancong dalam berwisata.
Kami naik MRT dari Stasiun Bandara Changi menuju Stasiun Tanah Merah (di dalam peta transportasi jalurnya berwarna hijau). Tidak menunggu lama. Kereta tersebut membawa kami menembus lorong-lorong bawah tanah kemudian meliuk-liuk menampakkan diri di permukaan. Setelah sampai Stasiun Tanah Merah, kami berganti MRT arah Stasiun Joo Koon karena akan menuju destinasi pertama, yakni Patung Singa Putih atau Merlion (ikon Singapura). 
Selain itu, di dalam MRT diupayakan menjaga sikap agar tidak gaduh. Sebab banyak warga Singapura, terutama kaum wanita dengan penampilan baju dan celana ketat bahkan pendek (seksi). Bagi lelaki harus jaga mata, sebab akan berseliweran para wanita berpakaian minim mengundang syahwat. Meskipun tampak di depan mata, tapi kita harus menahan diri. Jangan terlalu lama ditatap khawatir akan menimbulkan kecurigaan sehingga bisa dilaporkan ke petugas keamanan.


Patung Singa
Satu per satu stasiun MRT dilewati mulai dari Stasiun Tanah Merah, Bedok, Kembangan, Eunos, Praya Lebar, Aljunied, Kallang, Lavender, Bugis, City Hall, dan berhenti di Stasiun Raffles Place. Ketika sampai di Stasiun Raffles Place, kami keluar dari stasiun menuju sebuah taman istirahat atau Raffles Place Garden yang diapit gedung bertingkat. Kami duduk-duduk sejenak menikmati keramaian warga Singapura yang juga menikmati taman kecil itu untuk beristirahat. Tidak lama setelah berfoto-foto, kami kelompok II dan kelompok lainnya bersamaan akan menuju Patung Merlion berjalan kaki menyusuri taman-taman di pinggir sungai hingga tembus ke jalan menuju tempat destinasi pertama tersebut.
Kalau kita jalan-jalan ke Singapura jangan memakai baju tebal, seperti memakai jaket atau abju rangkap lainnya karena di Singapura bercuaca panas (tropis). Hal ini dipengaruhi juga luas wilayah negara itu yang kecil atau hampir sama dengan Kota Jakarta. Selain itu, di Singapura tidak berbukit dan tidak punya gunung, maka tidak heran cuacanya panas. Negeri ini bisa dikatakan juga daratan pesisir. Sebab selain infrastrukturnya bagus, juga dikelilingi banyak pelabuhan aktif yang aktivitasnya padat dan sibuk.
Setelah menyusuri jalan di pinggir sungai. Kami menyeberangi perempatan jalan karena Patung Merlion ada di seberang jalan. Kami masih berjalan kaki di bawah terik matahari sore. Beberapa meter berjalan, maka kami sampai di sebuah taman kecil, tempat Patung Singa itu berada. Bukan hanya kami yang berada di sana, tapi ternyata sudah banyak orang berkerumun mengabadikan momen perjalanannya di depan Patung Merlion. Aku tidak mau ketinggalan mengabadikan momen perjalanan ini. Meskipun dengan peluh lelah perjalanan setelah naik pesawat dan berjalan kaki. Semua itu harus dibuat bahagia karena aku dan teman-teman selama tiga hari akan menjadi warga Singapura. 
Setelah lama menikmati Patung Merlion, sekitar pukul 19.00 waktu setempat, kami bersama kelompok lainnya bersiap menuju penginapan di Kampung Bugis atau Kampung Glam. Berjalan kaki lagi. Naik MRT lagi. Kami tidak akan bosan. 


Menginap di Bugis
Setelah menikmati destinasi Patung Merlion, kami sampai di Kampung Bugis (destinasi kedua) untuk beristirahat. Perjalanan dari Patung Merlion menuju Kampung Bugis masih menggunakan MRT. Sebelum menuju penginapan, terlebih dahulu aku dan teman-teman makan malam di gerai kuliner sekitar Kampung Bugis. Aku memisahkan diri dari kelompok II. Aku bersama Diofany, Giani Marisa, Ahmad Wayang, dan Brandon, makan malam menu nasi briyani plus daging lembu dengan minuman teh tarik hangat di Restaurant Victoria. Makan malam dengan menu ala India ini memang agak aneh di perut aku dan teman-teman. Bentuk nasinya tidak seperti nasi di Tanah Air, apalagi dengan porsinya yang banyak. Satu porsi makan malam itu cukup empat orang, sementara Brandon hanya menikmati minuman air mineral botol.
Setelah perut kenyang, aku dan teman-teman berpisah bergabung dengan kelompoknya masing-masing. Aku tidur di Hostel ABC, sebuah penginapan tipe kelas melati sekamar dengan Khoirul Huda dengan tempat tidur bertingkat. Sebelum tidur, aku mengunjungi kamar temanku, Abdul Salam, Ade Ubaidil, dan Farid Supriadi. Berbincang-bincang sejenak dilanjutkan dengan salat wajib yang dijamak di Masjid Sultan. 
Masjid Sultan ini juga salah satu ikon Singapura. Jika kita ke Negeri Singa Putih akan jarang bahkan susah menemukan masjid. Tidak seperti di negeri kita. Di Singapura tata letak kotanya rapi dan tempat ibadah tidak sembarang dibangun oleh masyarakat, melainkan harus dibangun pemerintah/negara. Karena setiap kawasan (distrik) dibangun masjid, kuil, kelenteng, dan gereja, tapi harus di kawasan tertentu. Karena di pusat kota Singapura kita tidak akan menemukan tempat Tuhan itu.

5 komentar:

Mahar Sang Petualang

September 08, 2017 0 Comments



Aku tahu, Tias menerima lamaranku saat itu bukan karena maskawin yang aku tawarkan, tapi karena dia mencintaiku.

0 komentar: