Hari Terakhir di Singapura: Joging di Little India
Baca catatan sebelumnya: Hari Kedua di Singapura
Joging di Little India
Menikmati pagi di tanah pelancongan tidak akan puas, tapi bisa dilakukan
berkali-kali. Masih pagi di Singapura, Kamis (2/6/2016), adalah hari terakhir
praktik menulis dalam kegiatan Bimbingan Teknik Vokasi Menulis Bagi Peserta
Didik. Pagi itu aku bangun lebih awal sehingga bisa salat subuh berjamaah di
Masjid Sultan. Suasana baru terasa berkesan dalam perjalanan ini. Lelahnya,
hiruk-pikuk di stasiun dan Cinatown, keunikan miniatur globe Universal Studio,
hingga mulusnya infrastruktur jalan serta hak pejalan di trotoar yang dihargai.
Semua seolah membekas dalam ingatan ini. Seolah merindu, tapi harus berpisah.
Setelah salat subuh, aku kembali ke kamar hostel, berbaring sambil berselancar di
dunia maya memanfaatkan Wi-Fi hostel. Tak lama pesan di WA berbunyi. Mas Gong
menawarkan siapa yang mau ikut jalan-jalan ke Little India. Aku langsung
bergegas turun kamar hostel menuju
beranda. Di sana sudah menunggu Mas Gong, Kang Qizink, Mang Ripin, Gita, Qisti,
Eka, Thoir, dan Yehan. Kami pun berangkat ke Littel India.
Aku kira Littel India jauh dari kawasan Kampung
Bugis, tapi ternyata hanya berjarak beberapa ratus meter. Ah, kalau begitu ini
joging pagi yang menyenangkan. Selama perjalanan, Mas Gong memandu kami tentang
beberapa informasi yang belum diketahui. Karena Mas Gong sudah sering
bolak-balik Singapura.
“Kalau kalian berani atau mau ke Malaysia. Kalian
bisa naik bus di terminal ini,” kata Mas Gong sambil menunjuk terminal yang
tidak jauh dari Kampung Bugis atau hanya beberapa puluh meter di seberang
jalan.
“Tiketnya sekitar 60-70 dolar. Bus ini sampai ke
perbatasan Malaysia. Biasanya pada akhir pekan, banyak TKW mengantre di
terminal itu. Ironis memang. Karena ada beberapa TKW dari negeri kita sama
sekali belum pernah jalan-jalan di sekitar lingkungan mereka bekerja sehingga
ketika keluar kebingungan.”
Kami hanya mengangguk, mengerutkan kening,
memandang kosong, dan mengabadikan tempat itu dengan kamera. Ikut merasakan derita
yang dialami saudara kita, para TKW.
“Bagusnya di Singapura, selain infrastruktur jalan
saluran airnya diperbaiki sehingga kalau hujan tidak kebanjiran. Juga etnis-etnis
di sini dibikin kawasan sehingga tidak terlihat aacak-acakkan. Etnis Melayu
dibuat kawasan, etnis India, dan juga etnis China. Maka Singapura terlihat
bagus dan rapi. Meskipun kalau dilihat lebih dekat pasti ada celahnya,” ujar
Mas Gong begitu pengalaman menjadi pemandu hingga bisa menilai bahkan memetakan
apa yang ada di Negeri Singa Putih.
Baca juga: Tiga Hari Jadi Warga Singapura
Aku juga punya penilaian sendiri dari pengamatan-pengamatan
selama tiga hari di Singapura bahwa etnis India selain berjualan, juga
ditempatkan bekerja di bagian konstruksi atau bangunan. Karena hampir setiap
kali aku temui para petukang bangunan sebagian dari etnis India/Banglades.
Sementara untuk etnis China selain ada yang berjualan, juga kebanyakan di
bagian perkantoran. Kemudian etnis Melayu juga begitu. Aku merasa ada tingkatan
pekerjaan yang memang menjadi pilihan dari warga Singapura.
Setelah dari Littel India, kami berpencar. Aku,
Kang Qizink, dan Gita memilih pulang untuk sarapan di kawasan hostel, juga dengan Mang Ripin dan Tohir
yang memilih mencari objek foto. Sementara Mas Gong, Qisti, Eka, dan Yehan
memilih di Littel India untuk sarapan. Selama hampir tiga hari dua malam, aku
akhirnya menemukan menu makanan Tanah Air. Aku baru tahu ternyata di sekitar
kawasan Kampung Bugis ada warung Indonesia atau pemiliknya orang Indonesia. Aku
makan sarapan dengan lahap didampingi Kang Qizink dan Gita.
Pulang
Setiap pejalan pasti merindukan rumah. Setiap keberangkatan pasti ada
kepulangan. Kami para peserta #vokasimenulis merindukan pulang ke Tanah Air
meluruhkan rindu dan tawa ceria dari cerita perjalanan yang menggembirakan.
Pada hari petama, Selasa (31/5/2016), kami datang
dari Tanah Air sebagai pelancong langsung menikmati keriuhan monumen dari ikon
Singapura, Merlion, hingga berlanjut ke penginapan di Kampung Bugis. Selain
itu, menikmati hiruk-pikuk perjalanan dengan MRT dan bus yang serbacepat serta
mudah hanya dengan kartu pas Singapura.
Pada hari kedua, Rabu (1/6/2016), kami menikmati
pagi di Kampung Bugis dengan bersujud syukur di lantai Masjid Sultan hingga
menyusuri gang-gang di Kampung Glam sambil menikmati sarapan pagi. Kemudian
mampir di Malaya Heritage melihat berkas-berkas sejarah dengan berkumpul sambil
berdiskusi menuangkan ide untuk sebuah judul buku yang akan ditulis dari
perjalanan tiga hari ini. Selain itu, menjadi kutu buku di Perpustakaan
Singapura yang menyimpan 200.000 judul buku dengan fasilitas memadai hingga
membuat setiap pengunjung nyaman membaca. Selanjutnya mampir di Clement
menikmati makan siang atau berwisata kuliner. Menyusuri jalan-jalan
bereskalator di Sentosa Express sambil berpose ria di depan miniatur globe,
Universal Studio. Kembali meregangkan segala urat kaki dan badan yang lelah di hostel murah kemudian beraksi kembali di
keramaian malam di Cinatown untuk berbelanja oleh-oleh.
Pada hari ketiga, Kamis (2/6/2016), kami masih
menikmati pagi di Singapura dengan berjoging di kawasan Littel India yang
eksotik. Berkumpul kembali di hostel
menyiapkan barang bawaan untuk bersiap pulang ke Tanah Air bersama 10 kelompok
lainnya. Sebelum pulang, sebagian kelompok ada yang berkunjung kembali ke
Merlion dan ada juga ke Clarke Quay untuk bergaya di monumen Love. Kami dari
kelompok II AA Navis memilih ke Clarke Quay karena tempat itu belum dikunjungi.
Menuju Clarke Quay, kami menggunakan bus. Kami
tidak ingin berlama-lama karena mendapatkan jatah tiket penerbangan pertama
sekitar pukul 16.00. Karena itu, menuju Clarke Quay juga agar setelah dari situ
langsung menuju Bandara Changi bersiap pulang. Perjalanan selain menggunakan
bus, juga berjalan kaki beberapa ratus meter. Lelah berjalan. Namun,
sesampainya di Clarke Quay, pemandangan sungai nan indah membuat lelah itu
terbayar. Beberapa teman ada yang bergaya di monumen Love dan juga aku. Selain
itu, mengabadikan grafiti menarik di lorong masih di kawasan Clarke Quay.
Setelah puas dan lelah pun reda, kami berangkat ke Bandara Changi, Singapura,
menggunakan MRT dari Stasiun Clarke Quay sampai harus berganti MRT di setiap
stasiun Tanah Merah yang membawa kami ke bandara.
Di Bandara Changi tak ada kecanggungan apalagi
takut ditahan petugas. Semua pengalaman kedatangan saat pertama kali tiba di
bandara itu telah kami atasi dengan baik. Kelompok II AA Navis dikatakan jauh
dari persoalan pelik menjerat tiap anggotanya sehingga kekompakan masih
terjalin. Berupaya saling mengingatkan agar tidak mementingkan ego pribadi
dalam perjalanan kali ini. Sebab kami datang berkelompok, maka pulang pun harus
berkelompok. Harus kerja sama.
Meskipun pesawat yang akan membawa kami ke Tanah Air mengalami
keterlambatan dua jam, tetapi semua itu tidak membuat kami patah semangat.
Sebab setelah pulang nanti di Tanah Air masih ada misi lagi harus dituntaskan,
yakni menuliskan catatan perjalanan selama tiga hari di Singapura. Sesampainya
di Tanah Air atau tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten, sekitat
pukul 21.00 WIB, wajah lelah kami berucap syukur, Alhamdulillah. Karena telah
sampai di tanah kelahiran.
Asyik jalan-jalan 3 hari ke Singapura, pasti seru dan penuh kenangan ya mas. Dan akhirnya bisa menginjak tanah air kembali itu sangat melegakan. Welcome home :)
BalasHapusDuh, asik banget ya, bisa joging di Singapura. Aku dulu mau kesana tapi gagal, karena ada sesuatu hal.. Semoga dilain kesempatan bisa ke Singapura..
BalasHapus