Calon Pemimpin Harus Berani
Dalam
pemilihan kepada daerah (pilkada) serentak yang akan digelar tahun 2017, mulai
bermunculan para figur calon pemimpin peserta pilkada, baik baru maupun yang
lama, meramaikan suasana hajat demokrasi tersebut. Para calon pemimpin ini tak
hanya berlomba-lomba tampil di media iklan menawarkan janji politik jika
terpilih nanti. Bahkan ‘mendadak peduli’ dengan hadir di tengah masyarakat
menjemput keluhan (aspirasi) melalui dialog dan mendengar langsung keinginan masyarakat
sebagai calon pemilih. Semua itu dilakukan para calon pemimpin hanya untuk menarik
simpati suara pemilih agar bisa terpilih duduk di kursi kekuasaan, dalam
konteks pemimpin daerah.
Provinsi Banten
dibentuk dan diresmikan sejak tahun 1999, yang secara geografis berada di ujung
barat Pulau Jawa dan hasil pemekaran dari Jawa Barat, telah mengalami pasang
surut pergantian pemimpin. Pada tahun 2001, pemilihan Pilgub Banten pertama
kali dimenangkan Djoko-Atut untuk periode 2001-2006 (Djoko Munandar sebagai
gubernur dan Ratu Atut sebaga wakil). Namun tahun 2005, Djoko terseret kasus
dana perumahan senilai Rp14 miliar sehingga kepemimpinannya turun kepada Atut. Pada
Pilgub 2006, Ratu Atut mencalonkan lagi bersama HM Masduki dan memenangkan pemilihan
untuk periode 2006-2011. Kemudian tahun 2011, Ratu Atut naik lagi nyalon berdampingan dengan Rano Karno
dan menang pemilihan untuk periode 2011-2016.
Selama hampir
tiga periode dipimpin putra daerah (Djoko-Atut, Atut-Masduki, dan Atut-Rano)
perkembangan pembangunan Banten jauh dari kata sejahtera. Karena paling menonjol
selama perjalanan Banten sebagai provinsi baru yang berkembang adalah sisi
negatifnya, yakni korupsi. Sedangkan sisi positifnya hanya berkembang di antara
para kroni penguasa berupa jaringan kedudukan mapan dan akses menuju dana APBD.
Lantas, apa yang didapatkan rakyat? Yakni infrastruktur bolong, akses sarana-prasarana
mentok di pintu birokrasi, dan fasilitas umum berumur jagung.
Melihat
kondisi seperti tersebut, jelas kepemimpinan putra daerah tak selamanya memberi
kebagusan menduduki kursi kekuasaan. Justru yang ada hanya memperkaya diri
sendiri untuk keluarga penguasa tersebut. Selama 16 tahun Provinsi Banten
berdiri, manfaat pembangunan daerah dan kesejahteraan ekonomi masih jauh
panggang dari api. Bahkan sejak kursi kepemimpinan Provinsi Banten beralih dari
Ratu Atut ke Rano Karno karena Ratu Atut terlibat korupsi suap Pilkada Lebak,
juga perkembangannya belum signifikan. Meskipun saat dipimpin Rano Karno (2015-2016)
ada roh kebangkitan dan optimisme baru yang diembuskan, tapi dalam jangka waktu
satu tahun lebih tidak cukup memberi perubahan untuk Banten.
Pemimpin Pemberani
Na’im Yusuf
dalam bukunya berjudul Seberapa Berani
Anda Membela Islam? (2016) menjelaskan kriteria Muslim pemberani ada tiga
belas sikap, yakni mencintai masjid, menyeru ke jalan Allah, bersungguh-sungguh
dan tanggap, bersikap aktif dan bertanggung jawab, bercita-cita yang tinggi,
mulia dan terhormat, berani di atas kebenaran, berani, berjihad dan berkorban,
teguh di atas kebenaran, sabar dan membiasakan diri, memenuhi janji dan jujur
kepad Allah, serta tidak mudah putus asa dan pesimis.
Dari ketiga
belas sikap pemberani yang dikriteriakan Na’im Yusuf, maka calon pemimpin
Banten harus memilikinya. Salah satunya adalah sikap berani di atas kebenaran. Artinya, calon pemimpin Provinsi Banten
ke depan harus berani menolak cara-cara suap atau korupsi. Sebab keterpurukan
Provinsi Banten selama 16 tahun ini karena pejabatnya doyan korupsi. Kemudian calon
pemimpin Provinsi Banten juga harus berani jujur dan bertanggung jawab.
Kini, mari
kita tinggalkan tiga periode buruk kepemimpinan Banten yang diduduki putra
daerah atau dinasti Atut. Saatnya berbenah dan bersiap diri menatap ke depan dengan
membusungkan dada optimisme menyambut Pilkada Serentak 2017 yang akan digelar
12 Februari. Ada dua calon peserta pilkada di Banten, yakni Wahidin
Halim-Andika Hazrumy dan Rano Karno-H Embay Mulya Syarif. Keduanya memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam program kerja yang dijanjikan. Kita
sebagai peserta pemilih harus cerdas memilih kedua calon tersebut. Jangan mau
diakali untuk memilih salah satu calon hanya karena diberi amplop berisi uang
atau bentuk pemberian lainnya. Pakailah hati nurani dan otak. Siapakah di
antara kedua calon tersebut berhak dan pantas memimpin Provinsi Banten? Semua
kembali kepada kita. Karena masa depan Banten untuk lima tahun ke depan dan
seterusnya ada di tangan kita. Rakyat
Banten!***
Muhzen Den adalah pemuda kelahiran Ciloang yang sedang
merantau di Jakarta.
1 komentar: