Nilai-Nilai Religius dalam Film KMGP
Dewasa ini,
perkembangan film Islam mulai marak menghiasi bioskop-bioskop di seluruh
Indonesia. Dimulai dari booming nan
fenomenalnya film Ayat-ayat Cinta (2008),
disusul Laskar Pelangi (2008), Ketik
Cinta Bertasbih 1 &2 (2009), dan Sang
Pencerah (2010) yang menjadikan film ini banyak ditonton dengan daftar
penonton mencapai jutaan orang. Kemudian berlanjut ke film Perempuan Berkalung Sorban (2009), Hafalan Salat Delisah (2011), Negeri
Lima Menara (2012), 99 Cahaya di Langit Eropa (2013), Assalamualaikum Beijing (2014), Surga
yang Tidak Dirindukan (2015), dan lainnya yang menandakan bahwa film Islam tak pernah surut sehingga banyak
disukai para penontonnya.
Belum lama ini film
Islam kembali tayang di bioskop yang sejak diwacanakan akan difilmkan sudah
ditunggu-tunggu para penonton, yakni Ketika
Mas Gagah Pergi (KMGP), sebuah film adaptasi dari cerpen dengan judul yang
sama karya Helvy Tiana Rosa. Film KMGP unjuk diri ambil bagian dalam semarak
dakwah Islam lewat media film untuk membentengi umat Muslim dari gempuran
budaya Barat dan perkembangan ilmu teknologi yang semakin canggih. Sebab zaman
modern ini umat manusia, khususnya Muslim, terbuai dengan segala macam produk
instan sehingga terlena dan lupa karena bahwa dirinya sedang terpengaruhi
budaya asing. Karena itu, film Islam selain menjadi alternatif hiburan, juga
sebagai ruang pengingat akan nilai-nilai agama agar iman umat Muslim semakin kokoh.
Film KMGP bercerita
tentang tokoh Mas Gagah Perwira Pratama atau Mas Gagah berjuang memperbaiki
diri dan lingkungannya dengan agama dari gempuran perkembangan zaman yang
semakin pesat, terutama pergaulan bebas. Sejak ayahnya meninggal, Mas Gagah
berupaya menjadi sosok pemimpin di rumah, terutama untuk adiknya Gita. Mas
Gagah menjadi tulang punggung keluarga dengan bekerja menjadi model, pekerja
lepas, dan lainnya, untuk membantu mamanya.
Namun, ketika Mas Gagah
memutuskan pergi ke Ternate, Maluku, untuk urusan penelitian skrpisi. Mas Gagah
sepulang dari Ternate menjadi pribadi yang berubah drastis setelah bertemu
dengan Kiai Gufron. Mas Gagah menjadi pribadi tenang, berserah diri, rajin
beribadah, dan menjauhi hidup bermewah-mewahan (hedonis). Akan tetapi, perubahan
Mas Gagah tidak disukai Gita. Gita merasa perubahan Mas Gagah terlalu cepat dan
janggal sehingga membuatnya muak dengan embel-embel agama.
Berbagai macam cara Mas
Gagah memberi pengertian kepada Gita tentang pilihannya, tapi Gita meolak. Gita
tetap teguh pada pendiriannya bahwa Mas Gagah bukan lagi kakaknya dulu, yakni
kakak yang selalu ada dan menuruti apa mau Gita. Konflik antara Mas Gagah
dengan Gita melibatkan Mamanya yang juga tidak ingin melihat kedua anaknya
bermusuhan sehingga menengahi. Perjuangan Mas Gagah membentengi diri dengan
agama tidak mudah. Meskipun Mas Gagah mulai terlibat organisasi masjid dan
banyak membantu kaum lemah. Tetapi, ajakan berubah (hijrah) menjadi lebih
kepada adiknya selalu dimentahkan. Gita tetap resisten.
Tidak lama, Mas Gagah
membuktikan jalan hijrahnya dengan mengabdi untuk masyarakat. Mas Gagah
membantu tiga mantan preman di kampung nelayan yang peduli pendidikan terhadap anak-anak
dengan mendirikan Rumah Cinta. Melihat Mas Gagah semakin hari menjadi lebih
baik, Mama tergerak mengikuti jejaknya. Apalagi setelah menghadiri pembukaan
Rumah Cinta di kampung nelayan sehingga membuat Mama semakin yakin untuk hijrah.
Pada suatu hari, Gita
sudah tidak lagi mengandalkan jasa kakaknya mengantar-jemput ke sekolah bertemu
seorang lelaki (Yudi) di dalam bus
metromini. Lelaki itu perangai dan cara berkatanya hampir sama dengan Mas
Gagah, yakni mengajak orang-orang untuk hijrah ke arah lebih baik. Awalnya,
Gita terus menolak dan melawan bila bertemu dengan Yudi. Namun, peristiwa demi
peristiwa silih berganti menghampiri Gita, terutama ketika Gita di bus
ponselnya dicopet kemudian diselamatkan Yudi dan ada insiden penyenderaan. Gita
terkesan dengan kebaikan Yudi sehingga mulai mencari tahu tentang Islam.
Dari peristiwa itu,
Gita bingung dan bertanya-tanya tentang hal yang menimpa dirinya. Apalagi di
sekolah teman satu kelasnya, Tika, juga berubah memakai jilbab karena dekat
dengan anak Rohis. Sepulang dari sekolah Gita justru mendapati Mamanya mulai
mengenakan jilbab karena alasan sudah mendapatkan hidayah. Pada adegan ini
menjadi adegan terakhir dalam film KMGP dengan ujung cerita menggantung (open
ending).
Kebaikan
dan Etika Keagamaan
Cerita pendek Ketika Mas Gagah Pergi merupakan cerpen
yang ditulis Helvy Tiana Rosa sejak tahun 1992 dan pernah terbit di Majalah Annida pada 1997. Dalam kurun
waktu dua puluhan tahun tersebut, naskah cerpen Ketika Mas Gagah Pergi masih relevan dengan kondisi masyakarat
sekarang. Terlebih, setelah diadaptasi menjadi film dengan judul yang sama akan
menjadi lebih mudah diapresiasi.
Menurut T.S. Eliot,
seorang penyair Inggris mengatakan, ukuran nilai suatu karya sastra harus
dilihat dari aspek etika dan keagamaan. Bila ada gagasan atau semacam kesepakatan
dalam suatu masyarakat tentang etika keagamaan, maka karya sastra haruslah
“baik” sesuai dengan etika keagamaan tersebut. Karena itu, mulai dari naskah
teks sampai menjadi sebuah media digital (audio-visual/film) karya Helvy Tiana
Rosa mengandung nilai kebaikan dan etika keagamaan sehingga layak
dikaji/diapresiasi, baik dalam bentuk teks maupun film.
Nilai kebaikan dan
etika keagamaan di film KMGP bisa tampak dari adegan saat Gita mengetuk pintu
kamar Mas Gagah dan tidak dijawab oleh Mas gagah. Gita melihat ada stiker
tulisan Arab gundul di pintu kamar kemudian mengucapkan “Assalamualaiku” dan
dijawab Mas Gagah “Walaikumsalam”. Nilai berikutnya saat adegan Mas Gagah
memutar musik Islam atau beraroma agama di tape
recorder mobil sambil melafalkan
hafalan surat Alquran, tapi minta ganti oleh Gita karena tidak mengerti serta
kurang ngetren. Mas Gagah pun
menjelaskan bahwa musik beraroma Islam atau agama bermanfaat untuk hati/iman dibandingkan
dengan musik lainnya.
Selain itu, ketika
adegan tokoh Yudi berdakwah di dalam bus ketika di bus itu juga ada Gita. Yudi
mengutip sebuah hadis Rasulullah bahwa “Sampaikanlah ilmu walaupun hanya satu
ayat”. Atau ketika adegan Mas Gagah memberi wejangan kepada Tika tentang
kebaikan dan etika agama bahwa “Meskipun pilihan seseorang berbeda, tetapi kita
harus menghargainya”. Hal itu jelas film KMGP ini sarat dengan nilai-nilai yang
dijabarkan di atas. Dengan begitu, kiranya kita sebagai pembaca maupun penonton
bisa mengambil hikmah dan pelajaran dalam film beraromakan Islam.
Sayangnya, beberapa
adegan di film KMGP tampak janggal pada potongan-potongan alur ceritanya.
Selain itu, motif-motif permasalahan yang dihadirkan atau secara sebab-akibat
(kasuistik) pengemasannya kurang lembut sehingga seperti dipaksakan. Namun,
bukan berarti mengurangi esensi dari film tersebut. Bagi para penonton yang belum
menonton atau sudah harus baca teks cerpennya agar lebih paham secara mendalam.
Semoga pada sekuel film berikutnya, KMGP #2, akan lebih baik lagi. Salam
literasi.
0 komentar: